Alarm Darurat Layanan Kesehatan! RS Covid-19 di Jogja Terancam Kolaps
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA - Hampir seluruh rumah sakit rujukan Covid-19 di DIY kini tak lagi bisa menampung gelombang pasien yang terus berdatangan. Sebagian pasien mengantre di ruang Instalasi Gawat darurat (IGD) dan meninggal dunia karena tak sempat masuk ICU. Kasus kematian melonjak drastis. Bila tak ada upaya luar biasa, layanan kesehatan untuk pasien Covid-19 di DIY terancam kolaps. Warga yang jatuh sakit bakal tak bisa lagi dirawat. Berikut laporan wartawan Harian Jogja Bhekti Suryani.
Suara Siswanto bergetar saat menceritakan bagaimana ia dan rekan-rekannya berjibaku menghadapi gelombang pasien Covid-19 yang terus berdatangan ke Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM hari-hari belakangan.
Advertisement
“Apakah ada pasien [Covid-19] yang meninggal di bangsal [ruang prawatan] karena tidak bisa dirawat di ICU? Jawabannya ada. Itu terus terang mengaduk-aduk kami. Mengaduk-aduk perasaan kami,” kata dokter spesialis paru di RSA UGM itu bercerita melalui wawancara daring 5 Januari lalu.
Pakaian dinas dan penutup kepala masih melekat di tubuh Siswanto saat ia mengisahkan sejumlah pasien yang mereka tangani mengembuskan napas terakhir karena tak tertangani dengan baik, lantaran membeludaknya pasien, sementara peralatan medis terbatas.
“Kami harus merawat pasien ini di ruang ICU dengan perawatan yang harusnya diberikan kepada beliau. Tapi karena ruangannya enggak ada [karena penuh], alatnya juga enggak ada akhirnya semampunya dilakukan di ruang perawatan. Dan memang beberapa meninggal. Saya bilang beberapa karena lebih dari satu. Ini keprihatinan luar biasa yang kami rasakan,” ungkap Penanggung Jawab Layanan Covid-19 RSA UGM itu.
Lonjakan pasien yang berdatangan ke rumah sakit mulai dihadapi Siswanto dan rekan-rekannya sejak Oktober tahun lalu dan terus meningkat drastis sampai sekarang. Pada Oktober misalnya, RSA UGM hanya melayani 101 pasien Covid-19, baik yang sudah positif maupun suspek. Kemudian, jumlahnya meningkat menjadi 175 pada November dan naik hingga hampir tiga kali lipat menjadi 453 pada Desember 2020.
Penanggungjawab Layanan Covid-19 RSA UGM-Harian Jogja/Bhekti Suryani
Padahal, kapasitas bed isolasi baik kritikal maupun non-kritikal hanya 42 unit. “Per hari ini [5 Januari 2021] kami merawat 53 pasien. Padahal kapasitas kami hanya 42 pasien,” tutur dia.
Alhasil, pasien yang tak tertampung di ruang perawatan harus mengantre di IGD menunggu sampai ada pasien di bangsal perawatan pulang. Ia menyebut rata-rata lima hingga tujuh pasien Covid-19 harus mengantre di IGD hingga lebih dari 24 jam, bahkan sampai dua hari. Padahal sesuai prosedur, lama tunggu di IGD maksimal hanya dua jam.
Tak hanya di RSA UGM, tenaga kesehatan di RS PKU Bantul juga berjibaku menghadapi lonjakan pasien Covid-19 yang terus berdatangan. Sebagian pasien itu tak sempat tertolong dengan peralatan ICU sehingga meninggal dunia. Ada yang meninggal di IGD dalam masa tunggu mendapatkan ruang rawat inap maupun ruang ICU, ada pula yang meninggal di bangsal perawatan.
Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul Nurcholid Umam Kurniawan menyebut setiap pekan, satu hingga dua pasien Covid-19 yang datang ke PKU Muhammadiyah Bantul meninggal dunia karena tak tertangani dengan baik lantaran keterbatasan peralatan dan fasilitas ICU. Kondisi itu terjadi sejak pekan kedua Desember tahun lalu.
“Sampai sekarang banyak sekali pasien datang dalam kondisi jelek. Semua butuh bantuan ventilator dan alat bantu napas. Kami hanya punya 13 unit [peralatan ICU], sehingga tidak sempat kami berikan dan beberapa dari mereka meninggal,” ungkap dokter spesialis anak itu, Kamis (7/1/2021) lalu.
Sebanyak 11 dari 13 peralatan ICU itu pun ICU portable yang bisa dipasang pada pasien di bangsal perawatan. Sedangkan ruang ICU permanen beserta peralatannya hanya dua ruangan. Padahal, kata Umam, sebagian besar pasien datang dalam kondisi yang sudah buruk.
Petugas kesehatan acap kali hanya bisa memberi oksigen bertekanan tinggi pada pasien yang datang dalam kondisi kritis karena tak lagi tersisa ventilator. Sementara, bila pasien dirujuk ke rumah sakit lain, tak ada lagi yang bisa menampung karena kapasitas bed untuk pasien Covid-19 juga penuh.
Di IGD, pasien yang mengantre harus bertahan hingga dua hari. “Hari ini [7 Januari 2021] yang masih belum dapat kamar ada tiga orang. Masih menunggu di ruang isolasi IGD. Menunggu kalau ada pasien sudah sembuh dan pulang baru bisa masuk. Yang terlama sudah menunggu dua hari belum dapat kamar. Kami khawatir malam ini ada tambahan lagi sementara belum ada pasien yang dipulangkan,” katanya terdengar cemas.
Penuhnya kapasitas rumah sakit dan lonjakan pasien memaksa otoritas RS PKU Bantul menutup layanan IGD pada Selasa (12/1/2021) lalu untuk sementara waktu.
Penuhnya kapasitas tempat tidur rumah sakit untuk pasien Covid-19 dan antrean di IGD yang mengular juga diungkapkan otoritas RS Panti Rapih Jogja. Direktur Utama RS Panti Rapih Vincentius Triputro Nugroho mengatakan antrean di IGD mencapai hingga 10 orang sehari. Lama antre di IGD bahkan mencapai tiga hari. Sedangkan kapasitas tempat tidur sebanyak 49 untuk pasien Covid-19 yang dimiliki RS Panti Rapih sudah penuh semua.
“Sementara ruang rawat inap full. ICU enggak bisa diisi lagi, menunggu ada pergeseran. BOR [Bed Occupancy Ratio atau persentase penggunaan tempat tidur] 95-100 persen, ini berat. BOR ideal itu 70-80 persen itu maksimal. BOR Covid-19 hari-hari ini sudah 100 persen,” tegas Vincentius Triputro Nugroho.
Membeludaknya pasien sementara tempat dan peralatan perawatan terbatas menyebabkan sejumlah pasien di RS Panti Rapih meninggal dunia tak terselamatkan. Dokter penyakit paru RS Panti Rapih Bagus Nugroho mengatakan jumlah pasien kritis dengan ventilator yang tersedia tidak berimbang. “Pernah kejadian karena enggak dapat tempat ICU karena RS lain juga mengalami problem sama [ruang isolasi penuh] akhirnya tidak tertolong, itu pernah terjadi,” ungkap Bagus Nugroho.
Kapasitas tempat tidur untuk pasien Covid-19 yang sudah penuh menyebabkan warga kesulitan mengakses layanan kesehatan di rumah sakit. Sebuah gerakan sosial Sambatan Jogja alias SONJO yang melibatkan antara lain tenaga kesehatan di 27 RS rujukan Covid-19 di DIY, akademisi dan perangkat desa berinsiatif mendata jumlah pasien Covid-19 yang kesulitan mengakses layanan kesehatan.
Data yang dihimpun dari anggota SONJO di 27 RS rujukan Covid-19 di DIY, tercatat hingga 11 Januari lalu ada 25 pasien Covid-19 atau warga yang harus mengantre menunggu rujukan untuk mendapat tempat perawatan di RS.
Ekonom senior UGM yang merupakan penggagas SONJO, Rimawan Pradiptyo, mengatakan sejak lembaganya menghimpun data pada 14 Desember 2020 sampai 11 Janauri 2021 lalu, sudah ada 54 pasien yang berhasil dirujuk atau mendapatkan ruang perawatan, 25 pasien mengantre menunggu rujukan dan 10 lainnya meninggal dunia dalam masa antre menunggu rujukan, baik pasien yang masih suspek Covid-19 maupun yang sudah terkonfirmasi positif Corona.
Penggagas SONJO Rimawan Pradiptyo-Harian Jogja/Bhekti Suryani
“Ada pasien dari tanggal 13 Desember menunggu rujukan belum ada yang kabarkan update data base [sudah dirujuk]. Jadi hampir satu bulan [menunggu rujukan]. Biasanya kalau seperti itu belum [dapat tempat perawatan]. Kalau sudah [dapat tempat perawatan di RS] biasanya di grup WhatsApp memberi tahu, pasien nomor sekian sudah dapat di ruang ini, atau pasien nomor sekian sudah pulang,” kata Rimawan.
Kepala Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul Wahyudi Anggoro Hadi menceritakan bagaimana warga desanya yang terinfeksi virus Corona kesulitan mendapatkan layanan di rumah sakit karena kapasitas sudah penuh. Padahal ketiga warga tersebut bergejala. Dua di antara mereka berhasil mendapatkan layanan RS, sementara satu lainnya terpaksa isolasi mandiri di rumah karena tak junjung mendapat rujukan RS.
“Ada warga desa kami yang kebetulan nakes, tiga hari lalu dirujuk ke salah satu RS rujukan Covid-19 di Klaten [Jawa Tengah] karena indikasi beban rumah sakit di Jogja sudah berat. Satu lagi dirawat di rumah sakit rujukan Covid-19 di Bambanglipuro [Bantul], satunya isolasi di rumah,” ungkap Wahyudi, saat diwawancarai 7 Janauri lalu.
Data Tak Sinkron
Kondisi penuhnya kapasitas ruang isolasi untuk pasien Covid-19 di sejumlah rumah sakit di DIY tak sinkron dengan data kapasitas tempat tidur yang diumumkan Pemda DIY setiap hari ke media maupun via media sosial resmi pemerintah.
Pada Selasa, 12 Januari lalu misalnya, Pemda DIY mengklaim masih tersedia tempat tidur non-kritikal untuk pasien Covid-19 sebanyak 30 bed, serta tempat tidur kritikal sebanyak 23 bed. Pemda mengumumkan tempat tidur non-kritikal baru terpakai sebanyak 622 dari total 652 kapasitas yang disediakan. Sedangkan bed kritikal baru terpakai 53 dari total kapasitas sebanyak 76 bed. Data yang diumumkan Pemda DIY tersebut seolah menggambarkan kapasitas bed untuk pasien Covid-19, masih longgar dan layanan kesehatan masih dalam kondisi baik.
Untuk membuktikan klaim Pemda DIY ihwal tempat tidur perawatan pasien Covid-19 yang masih tersedia hingga puluhan bed, Harianjogja.com bersama sejumlah media di Jogja berkolaborasi mengumpulkan data dari 27 RS rujukan Covid-19 di DIY pada tanggal yang sama, 12 Januari lalu. Tim kolaborasi menelepon satu per satu rumah sakit rujukan menanyakan apakah masih ada bed tersisa untuk pasien Covid-19 baik ICU maupun ruang perawatan biasa.
Hasilnya, sebanyak 23 RS rujukan Covid-19 yang dihubungi menyatakan seluruh tempat tidur untuk pasien Covid-19 sudah penuh dan tak bisa lagi menampung pasien baru. Sebanyak dua rumah sakit menyatakan kapasitas tempat tidur penuh hanya tersisa untuk pasien perempuan, satu rumah sakit tidak bisa dihubungi dan satu rumah sakit lagi menyatakan masih tersisa enam tempat tidur tetapi hanya khusus untuk pasien Covid-19 yang mengalami gangguan jiwa.
Ihwal data tak sinkron antara yang diumumkan Pemda DIY dengan kondisi nyata di lapangan yang disampaikan sejumlah otoritas rumah sakit ditanggapi Kepala Dinas Kesehatan DIY Pembajun Setyaningastutie dalam jumpa pers daring bersama awak media beberapa waktu lalu.
Pembajun mengatakan data tersebut tak sinkron antara lain karena penggunaan bed kadang menggunakan sistem kohorting. Dalam sistem ini tidak bisa semua pasien Covid-19 dicampur antara perempuan dan laki-laki atau pasien dengan comorbid alias penyakit penyerta dengan pasien tanpa comorbid. Alhasil kata dia, kadang bed penuh untuk pasien Covid-19 berjenis kelamin laki-laki tapi masih tersedia bagi pasien perempuan. “Kalau dalam RS A ada dua bed, yang satu diisi pasien putri, enggak mungkin bed satunya diisi pasien putra. Lalu dalam ruangan di situ satu ruangan pasien dewasa enggak mungkin anak-anak masuk di situ. Ada bed kosong tapi ternyata disamping Covid ada penyakit lain TBC atau comorbid, jadi enggak bisa jadi satu,” jelas Pembajun.
Kepala Bidang (Kabid) Layanan Kesehatan Dinas Kesehatan DIY Yuli Kusumastuti mengakui sejumlah rumah sakit sudah penuh pasien Covid-19. “ Itu memang terjadi RS penuh. Ada yang enggak cuma penuh tempat tidur saja [di ruang rawat inap] tapi juga di IGD. Tempat perawatan itu sudah full, tapi saat pelaporan [data kapasitas bed ke Pemda] terjadi, bed sudah kosong satu. Jadi seolah-olah kosong dan ditolak [pasien yang datang]. Karena yang dimasukkan ke rawat inap yang sudah antre di IGD lebih dulu,” jelas Yuli.
Pemda DIY juga mengklaim hingga saat ini okupansi atau keterisian tempat tidur kritikal baru sebanyak 67% sedangkan non kritikal sudah di atas 80% hingga 90%.
Bila melihat data Bed Occupancy Ratio (BOR) atau persentase penggunaan tempat tidur yang diumumkan Pemda DIY, tren okupansi cenderung naik turun seiring penambahan kapasitas tempat tidur di sejumlah RS. Kendati demikian persentasenya rata-rata sudah di atas 80%. Pada akhir November misalnya, persentase BOR mencapai lebih dari 95%. Adapun data terakhir pada 12 Januari 2021, persentase BOR mencapai sekitar 89%.
Sumber: Diolah tim kolaborasi dari data Pemda DIY
Ihwal klaim Pemda mengenai masih tersedianya puluhan tempat tidur untuk pasien Covid-19 di rumah sakit ditanggapi sejumlah rumah sakit. Direktur Pelayanan Medik RS PKU Bantul Nurcholid Umam Kurniawan mengaku tidak tahu kenapa ada perbedaan data yang demikian mencolok.
Kenyataannya kata dia, kapasitas RS di tempatnya saat ini sudah penuh. “Di RS kami memang selalu penuh, kalau ada bed kosong saya enggak tahu bed mana yang dimaksud pemerintah. Boleh kalau kawan-kawan mau cek ruang isolasi akan saya tunjukkan semua penuh. Bahkan ada tiga pasien di IGD yang belum dapat ruang perawatan,” kata Umam.
Direktur Utama RS Panti Rapih Vincentius Triputro Nugroho juga mengaku tak tahu sebab beda data tersebut. “Tiap jam 12 siang kami selalu laporkan kondisi kami [ketersediaan bed ke pemerintah]. Itu [soal beda data dengan pemerintah] saya enggak bisa jawab di mana masalahnya,” ujar dia. Ia memandang perlu adanya layanan berbasis online yang bisa diakses masyarakat setiap saat untuk mengetahui ketersediaan tempat tidur pasien Covid-19 di semua RS rujukan di DIY. Selama ini informasi ketersediaan bed Covid-19 di seluruh rumah sakit di DIY secara daring hanya bisa diakses internal rumah sakit dan pemerintah.
Lonjakan Kasus Kematian
Daruratnya layanan kesehatan bagi pasien Covid-19 di sejumlah rumah sakit DIY menyebabkan lonjakan data kasus kematian di wilayah ini. Baik data kematian pasien yang sudah terkonfirmasi positif Corona maupun jumlah pemakaman dengan protokol Covid-19 yang dihimpun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY.
Merujuk data yang diumumkan Pemda DIY ke media maupun melalui web resmi pemerintah https://corona.jogjaprov.go.id/, tren jumlah pasien positif Covid-19 yang meninggal dunia melonjak drastis pada Desember 2020.
Pada Oktober 2020, total pasien positif Covid-19 di DIY yang meninggal dunia tercatat sebanyak 26 kasus, lalu meningkat menjadi 52 kasus sepanjang November. Pada Desember Pemda mencatat lonjakan kasus kematian pasien positif Covid-19 hingga 115 orang atau naik hingga dua kali lipat dibandingkan November. Adapun data sepanjang bulan ini hingga 9 Januari, kematian pasien positif Covid-19 telah mencapai hingga 55 orang.
Tren data kematian pasien positif itu sejalan dengan lonjakan jumlah pemakaman dengan protokol Covid-19. Pemakaman dengan protokol Covid-19 dilakukan terhadap pasien terkonfirmasi positif maupun yang masih berstatus suspek maupun probable. Pada kasus seperti ini, kebanyakan pasien suspek Covid-19 lebih dahulu meninggal dunia sebelum hasil tes swab PCR pasien tersebut keluar.
Data yang dihimpun Posko Dukungan (Posduk) Gugus Tugas Covid-19 BPBD DIY, mencatat sebanyak 522 orang dimakamkan dengan protokol Covid-19 dalam periode Oktober 2020 hingga 9 Januari 2021.
Pada Oktober, total yang dimakamkan dengan protokol Covid-19 sebanyak 62 orang, lalu naik menjadi 95 pada November dan melonjak menjadi 264 orang pada Desember 2020. Adapun sepanjang bulan ini hingga 9 Januari tercatat sebanyak 101 orang telah dimakamkan. Sedangkan bila ditotal sejak 30 Maret 2020 atau saat awal kasus Covid-19 muncul di DIY hingga 9 Janauri 2021, sudah ada 903 orang di Jogja yang dimakamkan dengan protokol Covid-19.
Sumber: Diolah tim kolaborasi dari data Pemda DIY
Setelah Libur Panjang
Melonjaknya kasus kematian akibat Covid-19 di DIY tak hanya sejalan dengan semakin membeludaknya pasien Covid-19 yang datang ke rumah sakit. Peningkatan kasus kematian juga seiring dengan lonjakan kasus positif Covid-19 yang dilaporkan Pemda DIY maupun yang didata oleh tenaga kesehatan di rumah sakit.
Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul Nurcholid Umam Kurniawan mengatakan gelombang pasien Covid-19 dirasakan mulai melonjak setelah libur panjang pada Oktober 2020 lalu. “Kalau lihat kurva, mulai bulan Oktober pertengahan sudah mengalami kenaikan drastis. Peningkatannya luar biasa kami rasakan sekali setelah liburan itu seminggu atau dua minggu [setelah liburan]. Banyak sekali pasien berdatangan dengan kondisi Covid-19 yang sudah jelek. Beberapa pasien rujukan dari puskesmas datang dengan kondisi yang sudah sangat jelek. Oktober sudah meningkat sangat drastis,” kata Umam.
Memasuki November, gelombang kedatangan pasien tak mereda. Umam mengakui November adalah masa paling sulit bagi nakes. “Kami harus updgrade semua perawat kami agar bisa merawat di bangsal Covid-19 dan menambah peralatan emergency dan peralatan ICU. Puncaknya Desember kemarin luar biasa. Ternyata, Januari ini enggak kalah dengan Desember,” kata Umam.
Ia khawatir lonjakan pasien Covid-19 setelah libur Oktober terulang sebentar lagi setelah libur Natal dan Tahun Baru. Ia memprediksi satu dua pekan setelah libur Natal dan Tahun Baru terjadi lagi lonjakan pasien Covid-19 sehingga perlu strategi khusus untuk mengantisipasinya.
Kondisi yang terjadi di RS PKU Bantul juga ditemukan di RSA UGM. Penanggungjawab Layanan Covid-19 RSA UGM, Siswanto membenarkan lonjakan kedatangan pasien terjadi setelah warga menikmati libur panjang pada Oktober dan berlanjut sampai sekarang.
Merujuk data RSA UGM pada Agustus tercatat ada 16 pasien terkonfirmasi positif Covid-19 yang dilayani, lalu naik menjadi 65 pada September, sempat turun menjadi 36 pada Oktober dan naik lagi menjadi 59 pada November lalu melonjak jadi 187 pada Desember 2020.
Sedangkan untuk pasien suspek Covid-19 kondisinya tak jauh beda. RSA UGM mencatat sebanyak 58 pasien suspek yang dilayani pada Agustus, naik jadi 81 pada September, turun lagi jadi 65 pada Oktober, melonjak menjadi 116 pada November dan puncaknya mencapai 266 pasien suspek pada Desember 2020.
“Habis libur Natal dan Tahun Baru biasanya ada peak [puncak] dua minggu kemudian. Kami sedang antisipasi hal itu,” kata dokter yang juga bertugas di RS Hermina Jogja itu.
Tren peningkatan pasien positif di RS juga bisa dibaca dari data kasus positif Covid-19 harian yang dilaporkan Pemda DIY. Merujuk data Pemda terjadi lonjakan kasus positif yang dilaporkan pada Desember sebanyak 6.192 kasus dalam sebulan. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan data November sebanyak 2.128 kasus dan Oktober 1.192 kasus. Adapun sepanjang bulan ini hingga Kamis (14/1/2021) kemarin, tercatat sebanyak 3.937 kasus positif Covid-19 di DIY.
Sumber: Diolah tim kolaborasi dari data Pemda DIY
Kemampuan Ada Batasnya
Sejumlah rumah sakit di DIY merespons lonjakan pasien Covid-19 dengan menambah kapasitas tempat tidur rumah sakit. Namun diakui, upaya itu tak bisa terus menerus dilakukan karena rumah sakit punya keterbatasan.
Direktur Utama RS Panti Rapih Vincentius Triputro Nugroho menegaskan tiap rumah sakit ada batas kemampuan yang tidak bisa dipaksakan. Saat ini kata dia, pemerintah mendesak rumah sakit untuk terus menambah kapasitas rumah sakit. Selama ini lembaganya juga telah menambah kapasitas tempat tidur untuk pasien Covid-19.
Awalnya RS Panti Rapih hanya menyediakan 18 tempat tidur untuk menampung pasien Covid-19. Seiring peningkatan jumlah pasien, kapasitas tempat tidur ditambah menjadi 36 bed. Kekinian jumlah tempat tidur baik ruang perawatan biasa maupun ICU telah ditambah menjadi 49 bed.
“Itu kapasitas optimal yang bisa kami sediakan karena tergantung tenaga dan sarana yang ada,” ujar Triputro Nugroho. Pasalnya, menambah terus kapasitas bed berkonsekuensi dengan penambahan SDM. Padahal tenaga yang disediakan untuk merawat pasien Covid-19 atau yang ditempatkan di ICU tidak bisa sembarang orang, baik dokter maupun perawat. “Enggak boleh tenaga yang punya comorbid harus melayani pasien Covid-19. Jadi tenaga harus spesifik. Jadi kenapa [sulit terus menambah bed] rumah sakit itu ada batas optimalnya,” tegasnya.
Direktur Utama RS Panti Rapih Vincentius Triputro Nugroho-Harian Jogja/Bhekti Suryani
Upaya menambah bed juga dilakukan RSA UGM dan PKU Bantul. Dokter Umam Kurniawan mengatakan RS PKU Bantul sudah menambah bed hingga 35 unit. “Dulu awal kami hanya ada tiga bed isolasi, seiring berjalan waktu karena enggak bisa menampung lagi pasien suspek kami tingkatkan kapasitas menjadi 35 bed. Itu pun terisi penuh,” katanya.
Sedangkan menambah tenaga kesehatan saat ini juga tidak mudah. RS PKU Bantul berencana merekrut tenaga kesehatan lulusan sejumlah perguruan tinggi Muhammadiyah di DIY. Caranya kata dia, perawat baru tersebut ditugaskan merawat pasien non-Covid-19, sedangkan perawat yang sudah lama bekerja di RS PKU Bantul bisa dikerahkan lebih banyak merawat pasien Corona.
Namun Umam juga mengingatkan rumah sakit pada waktunya juga punya keterbatasan. “Yang bisa kami lakukan adalah ekspansi dari satu bangsal ke dua bangsal. Mungkin suatu saat bisa sampai tiga hingga empat bangsal [disediakan untuk pasien Covid-19] kalau ingin menyelamatkan masyarakat. Hanya yang perlu dicatat rumah sakit itu punya keterbatasan,” tegas dia.
Di RSA UGM sejatinya ada 107 bed tapi tidak bisa difungsikan semuanya untuk pasien Covid-19 lantaran terganjal ketersediaan SDM. Khusus pasien Covid-19, awalnya 24 bed lalu ditambah menjadi 35 bed dan kini 40 lebih. “Sekarang kami lagi konsolidasi untuk menambah menjadi 50-60 bed. Rumah sakit memberi pelayanan itu mengukur kekuatan,” kata dokter Siswanto Penanggungjawab Layanan Covid-19 RSA UGM.
Pemda DIY juga angkat bicara ihwal melonjaknya kasus positif Covid-19 di Bumi Mataram hingga kapasitas bed rumah sakit bagi pasien terinfeksi virus Corona yang semakin menipis. Kepala Dinas Kesehatan DIY Pembajun Setyaningastutie menyatakan salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah yakni meminta rumah sakit terus memaksimalkan bed yang ada untuk menampung lonjakan pasien Covid-19.
Sedangkan opsi mendirikan RS darurat menurutnya belum menjadi pilihan saat ini. Pasalnya, rumah sakit baru butuh ketersediaan SDM atau nakes serta peralatan medis. Padahal, kata dia, merekrut tenaga kesehatan saat ini bukan perkara gampang. Ia menceritakan bagaimana sulitnya Pemda merekrut tenaga kesehatan. Dari sebanyak 230-an lowongan nakes yang dibuka, hanya ada 88 pendaftar.
Dari jumlah tersebut hanya 63 orang lolos administrasi. Namun dari jumlah itu pun hanya 26 orang akhirnya mau bekerja sebagai nakes, sedangkan lainnya mengundurkan diri karena alasan personal. Misalnya keluarga tidak mengizinkan yang bersangkutan bekerja merawat pasien Covid-19.
“Saat kita bangun satu RS sebenarnya apa to yang jadi hal? Satu SDM. Kalau beli alat sekarang banyak, RS bisa [beli alat]. Tapi adakah SDM yang bisa dimobilisasi. Kami lebih bagaimana mendorong rumah sakit meningkatkan kapasitas bed. Karena di RS sudah terbentuk sistem pelayanannnya,” tegas Pembajun.
Namun demikian Pembajun juga mengingatkan, berapa pun kapasitas rumah sakit ditambah tidak akan mampu menampung seluruh pasien yang sakit, apabila warga Jogja tidak mau disiplin menerapkan protokol kesehatan serta tak ada intervensi kebijakan dari pemerintah membatasi aktivitas masyarakat.
“Seberapa pun bed yang disediakan enggak akan pernah cukup kalau tidak ada pengetatan dan intervensi lintas program lain. Makanya mudah-mudahan dua pekan ini pembatasan [aktivitas masayarakat] bisa menurunkan kasus,” tegas Pembajun dengan suara lantang.
Kepala Dinas Kesehatan DIY Pembajun Setyaningastutie-Harian Jogja
Tak Lagi Bisa Dirawat
Lonjakan pasien Covid-19 dengan keterbatasan kapasitas rumah sakit di DIY saat ini diyakini bisa menyebabkan layanan kesehatan kolaps bila tidak ada intervensi serius dan luar biasa yang dilakukan pemerintah. “Kalau tidak ada rencana strategis dari pemerintah untuk mengatasi hal ini saya yakin seminggu dua minggu ke depan semua rumah sakit akan mengalami gangguan dan pelayanan bisa kolaps,” tegas Umam Kurniawan.
Gambaran lainnya kata dia, bila kondisi sudah kolaps maka akan banyak pasien sakit yang tidak tertampung dan tidak terawat. “Misal kalau dalam satu waktu datang lima orang. Karena alat bantu kami sangat terbatas di IGD paling hanya ada dua, yang bisa kami berikan alat bantu napas hanya dua itulah yang kami prioritaskan yang paling mengalami kegawatan,” jelas dia.
Bila ledakan pasien terus terjadi, RS PKU Muhammadiyah Bantul berencana membuka tenda darurat untuk menampung pasien. “Sekarang kami belum [membuka tenda], tapi kalau ini dibiarkan, para pemangku kebijakan tidak menyadari kapasitas rumah sakit ini sangat terbatas, suatu saat pasti akan terjadi. Harapan kami betul-betul pemerintah punya rencana bagaimana kalau sampai terjadi ledakan pasien di mana kita tidak bisa lagi menampung,” kata dia.
Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul Nurcholid Umam Kurniawan-Harian Jogja/Bhekti Suryani
Dokter Siswanto juga mengingatkan kondisi layanan kesehatan saat ini bisa fatal bila tidak ada upaya serius dari berbagai pihak untuk menangani pandemi. Ia juga mengingatkan tenaga kesehatan bukan lah garda terdepan dalam penanganan Covid-19 melainkan masyarakat sendiri yang harus membatasi diri untuk tidak menimbulkan penularan.
“Kalau ada yang bilang tenaga kesehatan adalah garda depan ini salah fakta. Garda terdepan itu di masyarakat, kami itu [garda] paling belakang. Saat peperangan melawan Covid-19 seperti sekarang ini, orang di garda terdepan enggak bisa mengerem maka banyak yang akan masuk rumah sakit,” kata Siswanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Para Calon Kepala Daerah Diingatkan Tidak Berkampanye Saat Masa Tenang
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Jelang Pilkada 2024, Dinas Kominfo Gunungkidul Tambah Bandwidth Internet di 144 Kalurahan
- Angka Kemiskinan Sleman Turun Tipis Tahun 2024
- Perluasan RSUD Panembahan Senopati Bantul Tinggal Menunggu Izin Gubernur
- Gunungkidul City Run & Walk 2024: Olahraga, Pariwisata, dan Kebanggaan Daerah
- Resmi Diluncurkan, 2 Bus Listrik Baru Trans Jogja Bertahan hingga 300 Km Sekali Isi Daya
Advertisement
Advertisement