Pantomim Jadi Cara Seniman Ini Selami Dunia Anak Difabel
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA - Sebagai lulusan Jurusan Teater ISI Jogja, tak pernah terbayangkan di benak Broto Wijayanto bahwa ilmu seni drama yang ia pelajari justru ia tularkan ke komunitas difabel selama hampir dua dekade.
Pria 46 tahun ini dikenal sebagai seniman pemrakarsa Deaf Art Community, sebuah komunitas bagi penyandang difabel tuli untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam berkesenian. Meskipun komunitas itu sudah bubar, tetapi Broto tetap setia dengan komunitas tuli dan difabel lainnya.
Advertisement
Teranyar, dia mendampingi komunitas seni inklusi dengan nama Bawayang. Broto menuturkan perjumpaannya dengan difabel sebenarnya tidak pernah ia duga. Pada 2004, dia diajak seorang teman baru yang memintanya untuk mengajari teman-teman difabelnya untuk berkesenian. Dia pun menyanggupinya.
Saat itu, pikirnya, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Kalangan tuli pun ia yakini juga bisa berkesenian.
“Begitu datang, saya yang stres. Waktu itu ada sekitar 30 orang teman tuli, sementara yang bisa mendengar hanya saya dan teman baru saya itu. Pucat wajah saya, belum bisa bahasa isyarat, blaasss. Saya terjebak pada mulut sendiri yang bilang bahwa enggak ada yang nggak mungkin di dunia ini,” ucap dia ketika ditemui Harianjogja.com saat mendampingi komunitas difabel di ajang Para Badminton Internasional 2022 di Gor Amongrogo, Selasa (23/8/2022).
BACA JUGA: Tak Cuma Salurkan Kecintaan, Komunitas Ini Aktif Populerkan Sugar Glider pada Masyarakat
Merasa tak bisa berkutik, teman Broto itu memintanya untuk berpantomim. Sebab dia mengetahui latar belakang seni Broto di dunia teater dan pantomim. Akhirnya, Broto memperagakan sejumlah adegan pantomim di depan puluhan Tuli. “Setelah saya bermain pantomim, tiba-tiba mereka gantian berpantomim dan ternyata lebih bagus dari saya. Wah, saya belajar pantomim tiga tahun di Jogja itu ternyata mereka lebih bagus dari saya. Gila,” kata pria asal Demak bernama asli Muhammad Arif Wijayanto ini.
Broto Wijayanto tampil bersama Teater Gandrik pada 2019 lalu. Sejak itulah Broto mengibarkan bendera bahwa tidak ada jarak komunikasi antara dirinya dengan teman difabel tuli. Pasalnya, dia merasa bisa berkomunikasi dengan mereka lewat pantomim.
Setiap kali menjelaskan sesuatu, dia akan memperagakannya dengan pantomim. Meski cukup lelah, tetapi Broto mendampingi mereka berlatih seni hingga menyelenggarakan pentas pertama pada akhir 2004. Pentas itulah yang ia jadikan tonggak kemunculan Deaf Art Community. Komunitas itu merupakan wadah difabel tuli untuk berkesenian.
Pasalnya, rupanya mereka menemukan bahwa seni itu menjadi media terapi bagi difabel untuk memperoleh rasa kepercayaan diri. Oleh karena itu, ketika dirasa sudah tercapai, Broto pun membubarkan komunitas itu.
“Apalagi mereka sudah sampai pada bikin organisasi sendiri-sendiri. Habis bubar, muncul organisasi pencinta alam untuk kalangan tuli, kelas bahasa isyarat tuli, dan lain-lain kalau enggak salah sampai lima organisasi,” ujar dia.
Meski sudah bubar, anak-anak yang tadinya pentas bersama Broto mengharapkan ada pentas kembali. Kebetulan, saat itu mereka diajak kerja sama dengan Papermoon Puppet Theater untuk membuat pertunjukan bertajuk Bawayang. Nama pertunjukan dengan konsep bayang-bayang dari wayang itu pun kemudian menjadi nama baru komunitas inklusi dampingan Broto hingga kini.
Komunitas Inklusi
Jika di Deaf Art Community berbagai kegiatan untuk para penyandang tuli bisa difasilitasi, maka di Bawayang, Broto mengkhususkannya untuk pengembangan seni.
Mulai dari shadow puppet, pantomim, teater, dan sejenisnya. Meski demikian, di Bawayang justru tidak mengkhususkan bagi teman Tuli semata. Broto menegaskan Bawayang bukan komunitas tuli, melainkan komunitas inklusi. Dengan begitu, setiap kali ada ativitas, mereka semua berbaur bersama, mulai dari difabel netra, daksa, akondroplasia, hingga nondifabel.
Berkat pantomim, Broto pun akhirnya belajar bahasa isyarat. Bahkan, ia merasa beruntung bisa belajar langsung dengan teman Tuli mengenai bahasa isyarat, baik huruf per huruf hingga berbagai kosa kata yang mereka gunakan.
“Dulu karena saya belum paham katakata dalam bahasa isyarat, tahunya huruf, ya saya hafalkan itu. Akhirnya setiap kata, tak hurufkan, jadi capek banget. Malah yang ngajarin kata-kata dari bahasa isyarat teman Tuli langsung,” ujarnya.
Dia mengaku sengaja tidak membuka kamus SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) dan memilih belajar langsung dari ahlinya, yaitu para difabel. Efeknya menurutnya luar biasa, sebab difabel jadi merasa lebih dihargai.
Meskipun hampir 80% kegiatan Broto kini mendampingi difabel berkesenian, namun ia juga masih aktif dalam kegiatan lain bersama kalangan nondifabel. Dia merupakan generasi kedua Teater Gandrik dan masih aktif hingga sekarang. Selain itu, ia juga mengajar di Art for Children Taman Budaya Yogyakarta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Otak Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang Bakal Diringkus Polri
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Jadwal Pemadaman Jumat 22 November 2024: Giliran Depok dan Pasar Godean
- Jadwal Terbaru KA Bandara YIA Xpress Jumat 22 November 2024
- Jadwal SIM Keliling Bantul di Akhir Pekan Bulan November 2024
- Jadwal Terbaru Kereta Api Prameks Jurusan Jogja-Kutoarjo Jumat 22 November 2024
- PakNas Desak Penyusunan Kebijakan Pertembakauan Melibatkan Konsumen
Advertisement
Advertisement