Advertisement

Banyak Pasal Problematik, Perppu Cipta Kerja Belum Layak Jadi UU

Abdul Hamied Razak
Selasa, 14 Maret 2023 - 22:47 WIB
Budi Cahyana
Banyak Pasal Problematik, Perppu Cipta Kerja Belum Layak Jadi UU Ilustrasi tenaga kerja - Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Beberapa permasalahan utama yang sudah jelas selama dua tahun UU Cipta Kerja (UUCK) berlaku masih menimbulkan permasalahan. Persoalan itu mulai dari batas waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) hingga kemudahan prosedur pemutusan hubungan kerja (PHK).

Pakar hukum ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Nabiyla Risfa Izzati menilai masih banyak pasal dalam Perppu No.2/2022 tentang Cipta Kerja yang diwariskan dari UUCK No.11/2020 tentang Cipta Kerja.

Advertisement

“Isu-isu utama yang berulang dikritik oleh gerakan pekerja dan serikat pekerja, sama sekali tidak berubah karena pengaturannya disalin saja dari ketentuan UUCK,” katanya saat menghadiri FGD Perppu Cipta Kerja Perspektif Konstitusional dan Citizen Right, Selasa (14/3/2023).

Dia menyebut berbagai masalah yang disebut krusial untuk direvisi dalam UU Ketenagakerjaan juga tetap belum tersentuh. Sejumlah pasal problematik dalam UU Cipta Kerja, kata dia, masih dipertahankan dalam Perppu Cipta Kerja. "Warisan permasalahan dari UU Cipta Kerja belum diselesaikan. Begitu juga dengan aturan terkait PHK berdasarkan pemberitahuan," katanya.

Menurutnya, ada banyak PHK massal yang dilakukan dan PHK berdasarkan pemberitahuan yang lebih mudah dilakukan karena UU Cipta Kerja membuka kesempatan itu. Selain itu, kata dia, aturan lainnya adalah terkait kemudahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) alias pekerja kontrak. Aturan terkait durasi masa kerja PKWT juga tidak berubah sama sekali.

"Jadi masalah-masalah yang problematik yang ada dalam UU 11/2020 (UU Cipta Kerja) masih terus ada dalam Perppu 2/2022 (Perppu Cipta Kerja) dan menurut saya menjadi masalah warisan yang tidak diselesaikan oleh pemerintah," kata Nabiyla.

Dia menilai Perppu 2/2022 justru menambah ketidakpastian hukum aturan ketenagakerjaan. Terdapat dua perubahan substanstif dalam kluster ketenagakerjaan Perppu Cipta Kerja meliputi masalah pengupahan dan alih daya atau outsourcing. Kedua perubahan substansi tersebut justru menambah ketidakpastian hukum terhadap aturan mana yang akan berlaku.

“Di satu sisi, Perppu CK menyebut aturan pelaksana dari UUCK tetap berlaku sepanjang isinya tidak bertentangan dengan Perppu CK. Di sisi lain, substansi pengaturan pengupahan dan alih daya atau outsourcing jauh berubah,” katanya.

Perubahan pasal-pasalnya juga justru menambah pertanyaan baru. Misalnya, pasal outsourcing tidak jelas yang akan diatur lebih lanjut tentang apa. Pasal pengupahan ada tambahan Pasal 88F yang menyebut dalam keadaan tertentu pemerintah dapat membuat formulasi UMP yang berbeda.

Dia mengatakan alasan utama UUCK inkonstitusional karena tidak adanya meaningful participation dalam pembuatannya. Kesalahan yang justru sengaja diulang dalam Perppu CK, dengan kedok “kegentingan memaksa”. Baik serikat pekerja maupun organisasi pengusaha sama-sama merasa dikejutkan dengan dikeluarkannya Perppu Cipta Kerja secara tiba-tiba.

“Kedua pihak pun sama-sama tidak sepakat dengan isi dari Perppu Cipta Kerja. Jadi pemerintah sebenarnya berkonsultasi dengan siapa dalam pembahasan kluster ketenagakerjaan Perppu CK? Aturan yang tidak bisa diterima oleh stakeholder terkait, secara sosio legal akan sangat sulit penegakannya,” ujar Nabiyla.

Ketua DPD KSPSI DIY Kirnadi mengatakan berdasarkan hasil FGD pihaknya menuntut DPR RI untuk tidak menyetujui Perppu Cipta Kerja untuk menjadi UU. Alasannya, banyak perppu tersebut yang problematik. Frasa “kebutuhan hidup layak” dihapus karena merujuk pada Pasal 88 dan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan sebagai rujukan penghitungan upah minimum.

“Perppu Cipta Kerja tidak mencantumkan hak cuti panjang selama 2 bulan bagi pekerja/buruh yang sudah bekerja selama 6 tahun secara terus menerus dan menyerahkan aturan itu kepada perusahaan atau perjanjian kerja sama yang disepakati,” katanya.

Hal lainnya yang ia kritik adalah Perubahan Pasal 56 dalam UU Cipta Kerja pada ayat (3) tidak mengatur lamanya PKWT tetapi justru menyebutkan, “Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan perjanjian kerja.”

UU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan mengenai besaran pesangon dan penghargaan masa kerja yang bisa didapatkan oleh pekerja saat terjadi PHK. Pada UU Ketenagakerjaan, besaran pesangon dan penghargaan masa kerja yang didapatkan saat terjadi PHK dipengaruhi tidak hanya oleh lama waktu kerja, namun juga alasan terjadinya PHK.

"Pada UU Cipta Kerja, korelasi antara alasan PHK dengan besaran pesangon dan/atau penghargaan masa kerja dihilangkan, sehingga multiplier pesangon dan/atau penghargaan masa kerja yang semula dapat mencapai 32 kali upah juga tidak lagi ada. Pada UU Cipta Kerja, batas maksimal pesangon dan/atau penghargaan masa kerja yang diwajibkan kepada pengusaha adalah 19 kali upah," kritiknya.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY Aria Nugrahadi mengatakan masalah UU maupun Perppu CK merupakan kewenangan pemerintah pusat. Namun, disnaker merespons pelaksanaan FGD tersebut yang diharapkan dapat memberikan masukan secara konkret ke Pemerintah Pusat dalam perlindungan sosial ketenagakerjaan.

“Dalam konteks ini, kami di daerah tetap membutuhkan kepastian regulasi agar bisa melaksanakan aturan yang jelas di daerah. Bagaimanapun juga, pekerja dan dunia usaha membutuhkan kepastian regulasi dan kami bisa melaksanakan keputusan yang lebih baik," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

KPK Bakal Periksa Bupati Sidoarjo Hari Ini

News
| Jum'at, 19 April 2024, 11:57 WIB

Advertisement

alt

Sambut Lebaran 2024, Taman Pintar Tambah Wahana Baru

Wisata
| Minggu, 07 April 2024, 22:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement