Advertisement

Kisah Mbah Mul, Pelestari Gamelan Nangka Mengajari Anak Berkesenian secara Gratis

Sirojul Khafid
Senin, 22 April 2024 - 06:57 WIB
Sunartono
Kisah Mbah Mul, Pelestari Gamelan Nangka Mengajari Anak Berkesenian secara Gratis Gamelan kayu nangka menjadi cara Hadi Mulyanto mendekatkan kesenian pada anak-anak. Tidak hanya menjadi alternatif gamelan dengan harga lebih murah, namun kayu nangka menjadi pengingat pada leluhur di Gunungkidul. - Harian Jogja/Sirojul Khafid.

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Gamelan kayu nangka menjadi cara Hadi Mulyanto mendekatkan kesenian pada anak-anak. Tidak hanya menjadi alternatif gamelan dengan harga lebih murah, namun kayu nangka menjadi pengingat pada leluhur di Gunungkidul.

Hari itu Hadi Mulyanto duduk sendiri di depan rumahnya di Padas, Candi Rejo, Semin, Gunungkidul. Di sekitarnya terdapat perkakas untuk membuat perabotan kayu. Suara musik karawitan keluar dari sound yang terhubung dengan ponsel. Dengan kaca mata yang agak melorot ke hidung, Mbah Mul, sapaan akrabnya, membaca note di beberapa lembar kertas.

Advertisement

“Sedang belajar untuk lomba karawitan di daerah [tingkat provinsi] besok,” kata Mbah Mul saat ditemui di rumahnya, Gunungkidul, Kamis (4/4/2024).

BACA JUGA : Gaung Gamelan Tandai Pembukaan Yogyakarta Gamelan Festival 2023

Mbah Mul merasa perlu mempersiapkan dan memahami note. Meski sebenarnya dia sudah di luar kepala perkara karawitan dan juga gemalen. Sejak kelas 2 sekolah dasar, Mbah Mul sudah kenal dan senang dengan warisan budaya tersebut.

Lebih dari sekadar memainkan, perjalanan hidup membawa Mbah Mul menjadi pembuat gamelan. Namun gamelan produksinya berbeda, tidak berbahan tembaga atau besi, melainkan menggunakan kayu nangka. Kayu nangka menjadi alternatif bahan yang tetap bisa mengeluarkan suara nyaring. Pori-pori kayu nangka mengandung banyak gema. Kayu jenis itu juga bisa bertahan puluhan bahkan ratusan tahun.

Tidak semua bagian kayu nangka bisa Mbah Mul gunakan. Dia hanya mengambil bagian tengah pohon nangka. Syarat lainnya, tidak ada lubang atau kerusakan kayu lainnya. Kayunya harus sehat seutuhnya, agar bunyi yang keluar juga maksimal. “Menentukan nada di setiap perangkat gamelan memakai feeling, pakai perasaan, ingatan pola pikir. Contoh lu ro ji nem mo lu ro ji,” kata Mbah Mul sembari mengucapkan nada seperti doremifasolasido.

BACA JUGA : Pertahankan Budaya Lokal, Kampung Gamelan Yogyakarta Sering Jadi Tujuan Wisata

Awalnya, Mbah Mul hanya membuat satu dua perangkat gamelan kayu nangka. Di waktu luang, dia memainkannya di depan rumah. Tetangga yang mendengar suara gamelan kemudian tertarik. Mereka ke rumah Mbah Mul dengan membawa anak-anaknya.

Menjadi Tempat Latihan

Anak-anak yang melihat, merasakan, dan mencoba gamelan lambat laun semakin tertarik. Mereka datang ke rumah Mbah Mul untuk belajar gamelan. Banyaknya anak yang datang membuat Mbah Mul harus membuat gamelan yang juga semakin banyak.

Dia tidak ingin anak-anak yang tertarik menabuh gamelan kecewa lantaran tidak kebagian alat. Susah untuk memantik dan menjaga ketertarikan anak pada kebudayaan. Semua pembuatan seperangkat gamelan menggunakan uang pribadi Mbah Mul.

Dari pembuatan gamelan nangka, kemudian Mbah Mul membuka tempat latihan menabuh gamelan bersama di rumahnya, sebagai cara mendekatkan akses peralatan kesenian untuk warga sekitar.

“Di Desa Candirejo hanya punya dua perangkat gamelan, satu rusak parah, satunya dipinjamkan ke dukuh lain yang jauh dari sini. Jaraknya 30 menit perjalanan, kalau anak-anak mau latihan harus dianter ke sana dan sebagainya, jadinya enggak bisa rutin,” kata laki-laki berusia 73 tahun ini.

“Jadi bikin seperangkat gamelan lengkap, biar anak-anak mudah dan deket latihan di sini.”

Dalam membuat gamelan, serta melatih anak-anak sepekan sekali, Mbah Mul tidak memungut biaya. Dia justru keluar biaya pribadi. Baginya, berkesenian itu tidak boleh diperdagangkan. Harus ikhlas. Akan ada rezeki dari arah yang lain.

Saat ini, ada dua tim yang belajar di rumah Mbah Mul. Tim A terdiri dari anak-anak yang sudah lama berlatih, jumlahnya sekitar 22 anak. Sementara Tim B tidak jelas jumlahnya, lantaran masih sering datang dan pergi. Mereka beberapa kali mengikuti lomba. Anak asuh Mbah Mul pernah menang di beberapa kompetisi.

BACA JUGA : Gamelan dan Wayang Kulit Masuk Kampus Mulai Dikampanyekan

Berlatih menabuh gamelan, tidak hanya teknik semata yang Mbah Mul ajarkan. Namun ada transfer pengetahuan budaya seperti sopan santun sampai adab Jawa. Belajar gamelan untuk anak-anak, salah satu cara juga agar mereka tidak terlalu banyak bermain dengan gadget.

Walau pun menggunakan gamelan berbahan kayu nangka, namun semua unsurnya sama dengan gamelan berbahan tembaga atau besi. Mbah Mul berharap kreasi asli miliknya ini bisa semakin menyebar luas dan mendapat pengakuan dari pemerintah.

Mbah Mul menganggap pembuatan gamelan dari kayu nangka tidak semata menjadi alternatif harga yang lebih terjangkau. “Tidak kalah penting, kayu nangka sebagai cara mengenang riwayat Gunungkidul. Sebelum Gunungkidul menjadi kota, wilayah Hutan Nongko Doyong dibabat oleh Demang dari Piyaman pada Jumat Legi, 15 Dzulhijjah 1858 dalam tahun Jawa, masehinya tanggal 27 Mei 1831. [Baru] jadilah Kota Wonosari,” katanya.

Saat Mbah Mul menabuh gamelan nangka dan tetangga yang mendengar lantunannya, mereka seakan ingat dengan asal-usul tempat kelahirannya. “Tadinya orang enggak ingat, denger [suara gamelan kayu nangka] ini jadi ingat, gimana tho kota Gunungkidul dulu,” kata Mbah Mul.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Kesaksian Korban Selamat saat Kecelakaan Rombongan Bus SMK Lingga Kencana Depok

News
| Minggu, 12 Mei 2024, 11:57 WIB

Advertisement

alt

Hanya 85 Meter, Ini Perbatasan Negara Terkecil di Dunia

Wisata
| Jum'at, 10 Mei 2024, 17:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement