Advertisement
Asal Usul Nama Mi Lethek Bantul yang Tercatat Sebagai Warisan Budaya Tak Benda

Advertisement
Harianjogja.com, BANTUL—Pembuat mi lethek tertua di Bantul, Yasir Ferry, 49, angkat bicara terkait dengan asal usul, cara membuat dan kenapa akhirnya mi lethek tercatat sebagai warisan budaya tak benda (WBTb) pada 2019.
Yasir Ferry mengungkapkan, dirinya adalah generasi ketiga dari pembuat mi lethek asal Bendo, Trimurti, Srandakan, Bantul. Awalnya, pendahulunya membuat mi dari tepung gaplek, pada 1940.
Advertisement
"Ya, karena warna dari mie yang dibuat tersebut gelap. Orang kampung menyebutnya lethek [kotor]. Ya, karena mi warnanya kecoklatan, sehingga disebut mi lethek," katanya di temui di Pantai Baru, Poncosari, Srandakan, Bantul, Sabtu (25/5/2024).
BACA JUGA: Dorong Kreasi Menu Baru Khas Kulonprogo, Dispar Gelar Menoreh Food Festival
Lebih lanjut Ferry menyampaikan, warna kecoklatan dari mi lethek terjadi karena proses pembuatannya masih tradisional dan tanpa melibatkan pewarna, serta tanpa pengawet. Mi lethek yang dibikin sepenuhnya berbahan baku gaplek dan tepung tapioka.
Untuk membuat mi lethek, Ferry mengungkapkan dibutuhkan waktu sekitar dua hari. Awalnya, gaplek diubah menjadi tepung dan direndam.
"Tujuannya agar getahnya hilang. Setelah itu tepung ditiriskan dan dicampur dengan tepung tapioka dalam silinder yang digerakkan menggunakan tenaga sapi. Nanti, setelah tercampur, kita tambahkan air," ungkapnya.
Setelah tercampur rata, kata Ferry, adonan tersebut dikukus kembali. Usai dikukus, adonan akan kembali diolah dalam silinder yang digerakkan oleh tenaga sapi. "Nah, pas disilinder itu, kita cek. Jika kadar airnya terlalu tinggi, tinggal tambahkan tepung tapioka kering," jelasnya.
Usai proses pengolahan adonan, lanjut Ferry, maka adonan akan dipres menjadi bentuk mi. Setelah itu, mi yang terbentuk itu dikukus. Setelah itu, mi dikeluarkan dari kukusan dan direndam di ember.
"Tujuannya, agar lendir lem yang ada hilang. Baru setelah itu dibentuk kotak-kotak dan dijemur di bawah matahari," jelasnya.
Karena proses pembuatan mi lethek yang butuh proses panjang, maka Ferry mengaku hanya bisa membuat mi lethek sebanyak 1 ton setiap kali produksi.
BACA JUGA: Warung Makan Yu Ngademi, Kuliner Legendaris Penghuni Pasar Ngasem
Menurut Ferry, jumlah produksi tersebut, saat ini belum bisa memenuhi kebutuhan mi lethek di Kabupaten Bantul. Sebab, saat ini banyak berdiri warung bakmi di Bumi Projotamansari. Selain itu, mi lethek juga bisa diolah menjadi mi godhok, Magelangan, oblok-oblok dan plencing
"Kami jual per pack mi lethek isi lima kilogram senilai Rp100.000 dan sejauh ini hanya sekitar Bantul," terangnya.
Ferry mengungkapkan, salah satu alasan mi lethek mendapatkan sertifikasi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai warisan budaya tak benda (WBTB), adalah karena cara pembuatannya yang masih tradisional. "Sehingga ke depan, jika ingin dikembangkan, kita harus tetap dipertahankan tradisionalnya," jelasnya.
Sementara Plt Dinas Kebudayaan (Disbud) Kabupaten Bantul, Slamet Pamuji mengakui jika mi lethek telah tercatat WBTb.
"Ada di dalam surat keputusan (SK) dengan nomor 362/M/2019, mi Lethek sebagai WBTb," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Polemik Surat Permintaan Pengawalan Istri Menteri UMKM di Eropa, KPK Sebut Masih Pelajari Dokumen
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Pemda DIY Diminta Prioritaskan Pengembangan Kawasan Industri di Wilayah Selatan
- Gempa Bumi Magnitudo 5,1 Guncang Selatan Pangandaran Jawa Barat Siang Ini
- Semester I 2025, Sebanyak 60 Orang Tewas dan 1.244 Orang Lainnya Luka-luka Akibat Kasus Kecelakaan Lalu Lintas di Bantul
- Penumpang Kereta Api Saat Liburan Sekolah Sudah Mencapai 3,4 Juta Orang
- Venue Porda Gunungkidul 2025, Pemasangan Atap Lapangan Tenis Sewokoprojo Dikebut
Advertisement
Advertisement