Advertisement
Kisah Sutradara Film Tunanetra Pertama di Indonesia
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Sinema punya ruang yang terbuka, termasuk untuk sineas tunanetra. Berawal dari nekad menonton film di bioskop, Arif Prasetyo kemudian menjadi sutradara tunanetra pertama di Indonesia.
Masa menyenangkan dan menyedihkan banyak muncul saat sekolah menengah atas (SMA). Bagi Arif Prasetyo, kenangan kurang menyenangkan saat dia tidak diajak teman-teman SMA-nya nonton film di bioskop. Saat itu, sekitar tahun 2015, dia merasa teman-temannya cukup jahat dengan meninggalkannya.
Advertisement
Di lain kesempatan, Arif berinisiatif menonton film ke bioskop. Dia mengajak satu temannya, untuk menjadi pembisik, lantaran Arif merupakan tunanetra. Film pertama yang Arif ‘tonton’ di bioskop judulnya The Jungle Book.
Dia menikmati film dengan memaksimalkan audio dan percakapan para pemainnya. Sementara untuk scene yang tidak banyak suara, Arif meminta bantuan pembisik untuk menjelaskan. Mengetahui Arif menonton film, teman-teman yang sebelumnya tidak mengajaknya ke bioskop, kemudian nonton bersama di kesempatan berikutnya. Ternyata temannya tidak jahat, hanya belum tahu cara mengajak tunanetra menonton film.
BACA JUGA : 1 Kakak 7 Ponakan Jadi Film Terbaru Yandy Laurens, Adaptasi dari Sinetron Tahun 1990-an
“Setelah aku udah paham metode yang tepat untuk nonton film, aku berkomunikasi sama temen-teman difabel lainnya, yang juga merasa senasib. Akhirnya aku ajak nonton bareng, dengan metode yang pernah aku terapkan, ternyata kita bisa,” kata Arif, Selasa (7/1/2025).
Pertemuan Arif dengan film berujung panjang. Akhir SMA hingga awal kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogja, dia terlibat dalam beberapa project film independen. Arif pernah berperan menjadi zombi hingga mengisi suara (dubber). Di akhir masa kuliah, keresahan terjun di dunia film semakin meningkat.
“Aku bikin Komunitas Sat Adhirajasa. Bersama komunitas, aku buat kelas-kelas, ada kelas acting, penyutradaraan, penulisan skenario, dan lainnya,” katanya.
Perspektif Langsung
Sat Adhirajasa. Sat artinya enam. Adhirajasa artinya keperkasaan. Total pendiri Sat Adhirajasa enam orang. Dalam konteks film, Sat Adhirajasa bermakna enam orang yang mempunyai pemikiran out of the box tentang film, enam orang yang mampu mengubah stigma masyarakat, dan enam orang yang membuat semua orang dengan berbagai kondisi berhak menonton film ke bioskop.
Pada 2021, Arif dan teman-temannya memproduksi film berjudul Ning Nong Ning (Sutradara Arif Prasetyo) dan Seutas Asa (sutradara Taufik Rahmadi). Memasuki 2022, Aulia Rachmi Kurnia menyutradarai Masih Tanda Tanya. Di tahun yang sama, Arif menjadi sutradara Salah Doa.
Semua film dari Sat Adhirajasa bercerita tentang kehidupan tunanetra. Apabila film bertema difabel lainnya berasal dari orang yang tidak difabel, film-film tersebut diproduksi langsung oleh orang yang merasakan benar kondisinya. Sehingga perspektifnya langsung dari tunanetra.
Film Salah Doa misalnya, bercerita tentang karakter utama laki-laki yang tunanetra dan memasuki masa dewasa. Dia hendak menyalurkan hasrat seksualnya dengan menyewa pekerja seks komersial. Namun uangnya tidak cukup. Di waktu yang bersamaan, ada orang yang memberinya uang. Orang itu meminta doa kepada orang tunanetra. Ada anggapan orang tunanetra suci dan doanya mudah terkabul.
BACA JUGA : Cerita Darto Sutradarai Film Modal Nekad dengan Proses Singkat
“Saat orang sudah nonton film Salah Doa, ada berita Agus Buntung [yang melecehkan belasan perempuan jadi] enggak kaget, ini biasa aja, kritik untuk diri sendiri. Waktu pemutaran film itu, auto di-judge masyarakat juga, banyak ditentang, belum banyak yang menerima,” kata Arif, yang saat ini berusia 26 tahun.
Menuju Festival
Ada serangkaian pelatihan agar pemain dan crew produksi film memaksimalkan potensinya. Termasuk untuk pemeran dari tunanetra. Untuk melatih ekspresi, pemain tunanetra memanfaatkan (dengan meraba) topeng sebagai referensi ekspresi sedih, senang, marah, dan sebagainya. Kadang kala, mereka juga meraba wajah orang asli, tangan, dan kakinya.
Saat tunanetra menjadi sutradara, dia memiliki asisten yang tidak netra, untuk mengontrol hasil visual. Kerja-kerja ini menjadikan ruang produksi film yang inklusif. “Inklusi tidak hanya dari difabel non-difabel, tapi juga antar agama. Ketika salat Jumat, yang muslim cowok enggak ada, akhirnya yang cowok beragama Kristen yang nganterin ke masjid pas syuting. Misal bertepatan dengan Natal, syutingnya juga libur dulu,” kata Arif.
Ke depan, Arif dan teman-temannya di Sat Adhirajasa akan terus memproduksi film. Arif banyak belajar dari film-film idolanya, Hanung Bramantyo dan Joko Anwar. Untuk Hanung, Arif suka dengan genre film-filmnya. Hanung juga sering menggunakan latar alam yang indah, yang juga ingin Arif terapkan.
“Hanung bisa syuting dimanapun tanpa penolakan, itu yang pengen aku pelajari,” katanya. “Pernah aku terapin di filmku Salah Doa, yang latarnya di lokalisasi Parangkusumo. Enggak banyak yang berani [syuting di sana], tapi gimana caranya bisa lobi preman dengan bersahabat.”
Memasuki tahun 2025, Sat Adhirajasa akan memproduksi film lagi. Saat nantinya sudah sepuluh film, mereka akan menggelar festival, yang harapannya bisa berlangsung di luar negeri. Mereka pernah mendapat tawaran untuk menayangkan filmnya di layanan streaming, namun Arif menolak. “Prinsip pertama jangan buru-buru viral, setelah viral akan dibuang, sesuai pengalaman. Pengennya pelan-pelan naiknya,” kata Arif, yang juga dianggap sebagai sutradara tunanetra pertama di Indonesia.
Buku Pembuka Pintu
Pengalaman Arif Prasetyo dari menonton, menjadi figuran, hingga sutradara film dia rangkum dalam buku. Akhir tahun 2024, bertepatan dengan Hari Difabel Internasional, Arif merilis buku berjudul Pembuatan Film Inklusi Pintu Keberagaman dalam Sinema.
Dengan bukunya, Arif ingin membuka pintu bagi orang-orang yang peduli dengan isu inklusi di dunia film. “Perlu ada kesetaraan di dunia film, persamaan hak untuk menonton atau membuat film. Buku itu bisa menjadi pintu masuk, mereka akan tahu oh ternyata begini di dalamnya,” kata Arif.
Pembaca akan mendapatkan banyak materi tentang film dan inklusivitas. Misalnya cara berinteraksi dengan difabel, tips menyutradarai film untuk difabel dan non-difabel, memanajemen crew yang inklusi bagi difabel dan non-difabel, hingga cara men-direct film. Ada pula contoh skenario dan film yang inklusi.
Buku Pembuatan Film Inklusi Pintu Keberagaman dalam Sinema sudah memiliki ISBN, HAKI, dan menjadi living collection di Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Jogja. Buku tersebut sudah memasuki cetakan kedua. Cetakan pertama didistribusikan kepada orang yang memang menaruh kepedulian terhadap film.
“Cetakan pertama untuk relasi dan orang yang peduli dengan film inklusi. Sasaran awal pegiat film dulu, saya hafal 200 buku pertama siapa aja yang dapat, ada 40 dosen, sembilan artis, hingga tiga sutradara,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid Aku Pagar Laut di Tangerang Bersertifikat HGB
Advertisement
Bali Masuk Urutan Dua Wisata Terbaik di Dunia Menurut TripAdvisor
Advertisement
Berita Populer
- PSS vs Persik, Susunan Starter PSS, Head to Head, dan Link Streaming
- Produksi Padi di Gunungkidul Turun Tipis pada 2024, Ini Penyebabnya
- Susunan Pemain PSS vs Persik:Vico Kembali Starter, Riko dan Jayus Masih Disimpan di Bangku Cadangan
- Cegah Bayi Lahir Stunting, Ibu Hamil di Jogja Dapat Suplemen Multivitamin
- TPST Donokerto Segera Dilengkapi Peralatan Pengolah Sampah Senilai Rp5,7 Miliar
Advertisement
Advertisement