Advertisement
Jemparingan, Gaya Memanah Khas Mataram Ini Ternyata Punya Makna Filosofi yang Dalam
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Dinas Kebudayaan Kota Jogja telah melaksanakan kegiatan Gelar Potensi Daerah Jemparingan 2019, sebagai upaya melestarikan budaya dan tradisi khas Mataram. Kegiatan ini telah dilaksanakan pada Minggu, 27 Oktober lalu, di Lapangan Panahan Kenari, Jalan Kenari, Muja Muju, Umbulharjo, Kota Jogja.
Jemparingan atau tradisi memanah merupakan olah raga panahan khas kerajaan Mataram. Berbeda dari panahan pada umumnya yang dilakukan sambil berdiri, jemparingan dilakukan dengan duduk bersila. Hingga kini jemparingan masih lestari, baik di Jogja maupun di Surakarta.
Advertisement
“Asal usul jemparingan di Kesultanan Jogja, atau juga dikenal sebagai jemparingan gaya Mataram Ngayogyakarta, dapat ditelusuri sejak awal keberadaan kesultanan Jogja. Sri Sultan Hamengku Buwono I [1755-1792], raja pertama Jogja, mendorong segenap pengikut dan rakyatnya untuk belajar memanah sebagai sarana membentuk watak kesatria,” kata Tri Sotya Atmi selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Jemparingan 2019, melalui rilis, Minggu (17/11/2019).
Watak kesatria yang duimaksudkan adalah empat nilai yang harus disandang oleh warga Jogja. Keempat nilai yang diperintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk dijadikan pegangan oleh rakyatnya tersebut adalah sawiji, greget, sengguh dan ora mingkuh. Sawiji berarti berkonsentrasi, greget berarti semangat, sengguh berarti rasa percaya diri, dan ora mingkuh berarti bertanggung jawab.
“Adapun filosofi jemparingan bertujuan untuk pembentukan watak sawiji itulah, maka jemparingan tampak sangat berbeda dengan panahan lain yang berfokus pada kemampuan pemanah untuk membidik target dengan tepat,” kata dia.
Pemanah jemparingan gaya Mataram tidak hanya memanah dalam kondisi bersila, namun juga tidak membidik dengan mata. Busur diposisikan mendatar di hadapan perut sehingga bidikan panah didasarkan pada perasaan pemanah.
Gaya memanah semacam ini sejalan dengan filosofi jemparingan gaya Mataram itu sendiri, pamenthanging gandewa pamanthenging cipta. “Filosofi ini memiliki arti bahwa membentangnya busur seiring dengan konsentrasi yang ditujukan pada sasaran yang dibidik. Dalam kehidupan sehari-hari, pamenthanging gandewa pamanthenging cipta memiliki pesan agar manusia yang memiliki cita-cita hendaknya berkonsentrasi penuh pada tujuan tersebut agar cita-citanya dapat terwujud,” lanjut dia.
Adapun peralatan Jemparingan terdiri dari deder atau anak panah, bedor adalah mata panah, wulu atau bulu pada pangkal panah dan nyenyep yang merupakan bagian pangkal dari jemparingan.
Seiring dengan perkembangan zaman, jemparingan gaya Mataram Ngayogyakarta pun berkembang. Hingga kini terdapat berbagai cara memanah ataupun bentuk sasaran yang dibidik. Namun semuanya tetap berpijak pada filosofi awal jemparingan sebagai sarana latihan konsentrasi dan tidak meninggalkan cara memanah sambil duduk bersila.
Adapun kegiatan ini juga dilaksanakan dalam rangka menyemarakkan HUT Kota Jogja ke-263 beberapa waktu lalu. Dinas kebudayaan Kota Jogja bekerja sama dengan Kodim 0734/YKA untuk menyelenggarakan kegiatan ini. Tidak hanya dilombakan, loka karya jemparingan juga digelar agar para atlet bisa memahami sejarah, makna dan filosofi yang terkandung dalam dalam olahraga tradisional tersebut.
Dikatakannya, kegiatan ini diikuti oleh warga masyarakat Jogja dan menghadirkan sejumlah tamu yakni Pengurus PERPANI DIY Bagian Tradisional, Rimawan dan Komandan Kodim 0734/YKA Kolonel ARH ZAenudin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Rekrutmen Pendamping Desa, Mendes PDT: Tak Boleh Terlibat Parpol
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Giliran Kota Jogja Terkena Pemadaman Listrik Jumat Pagi hingga Siang, Ini Lokasinya
- Ribuan Pemohon PBG Mengalami Kendala, Pemkot Jogja Lakukan Pendampingan
- Mengenang Hamzah, Figur Sederhana yang Memanusiakan Manusia
- Cuaca Mayoritas di Wilayah DIY Hujan Ringan Siang Hari Ini
- Top Ten News Harianjogja.com, Jumat 25 April 2025, Peredaran Uang Palsu di Jogja hingga SPMB 2025
Advertisement
Advertisement