Advertisement
Begini Sejarah Keberadaan PKL di Malioboro
Advertisement
Harianjogja,com, JOGJA—Sejarah Malioboro sebagai pusat perdagangan terentang panjang hingga tiga abad silam. Banyak orang, termasuk pedagang kaki lima yang menggantungkan hidup di sepenggal jalan ini. Malioboro juga menjadi saksi percaturan politik masa lampau hingga sekarang. Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Sunartono.
“Pertama kali bikin warung di Malioboro sebetulnya abdi dalem Patih Danureja [sekitar abad ke-18]. Mungkin ada izin ke abdi dalemnya untuk membuka usaha di situ. Kemudian abdi dalem tandan para penarik pajak [beretnis keturunan Tionghoa] Pasar Beringharjo juga membuat aktivitas perdagangan,” kata Budayawan Jogja, Achmad Charis Zubair, saat berbincang dengan Harian Jogja, Senin (17/1/2022).
Advertisement
BACA JUGA: Ini Tujuan Pemerintah Memindahkan PKL Malioboro ke Tempat Baru
Sejak pertengahan atau jelang akhir abad ke-18 saat itu sudah ada perniagaan di kawasan Malioboro.
Patih Danurejo memberikan izin kepada abdi dalem untuk membuka warung di kawasan tersebut. Kemudian pedagang di Malioboro berkembang setelah Perang Diponegoro dan terus meningkat kuantitasnya pada awal abad ke-20. Kini Malioboro tumbuh sebagai jantung kota Jogja dan pusat perekonomian, pusat pemerintahan di DIY.
Keberadaan pedagang kaki lima (PKL) di Malioboro juga sudah ada sejak setelah kemerdekaan RI atau medio 1970-an. Bermunculannya pedagang ini didasari akan pemahaman masyarakat bahwa Malioboro adalah pusat perekonomian atau pasar. Siapa saja datang untuk berniaga.
Di sisi lain, tidak semua orang memiliki lahan dan toko di Malioboro. Mereke terpaksa memanfaatkan sejumlah ruang sempit di sepanjang Malioboro dengan membuat lapak. “Saya kira ini sudah ada sejak 1970-an, dari dulu bukan hanya penduduk Jogja yang jadi PKL,” ujar Charis Zubair.
BACA JUGA: PKL Malioboro Pindah Mulai 1 Februari, Lewat Tanggal 8 Diatasi Aparat
Keberadaan pedagang di Malioboro ini menjadi ciri khas tersendiri, bahkan popularitasnya mengalahkan nilai filosofi yang terkandung di dalam Malioboro sebagai sumbu filosofi. Namun, penataan kawasan sebaiknya saling menguntungkan.
“Antara toko dan PKL ini harus saling bergandengan, simbiosis mutualisme karena beda segmentasi. Penataan memang keharusan tetapi jangan sampai menutup jalan nafkah bagi siapa pun untuk berniaga di Malioboro,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Leonardo DiCaprio Disebut Cocok untuk Squid Game Versi Amerika Serikat
Advertisement

Kampung Wisata Bisa Jadi Referensi Kunjungan Saat Liburan Sekolah
Advertisement
Berita Populer
- Pedagang Eks TKP ABA Keluhkan Pengunjung Sepi, Wali Kota Jogja Bakal Gelar Sejumlah Event
- Dua Mahasiswa KKN UGM Meninggal Dunia, Sejumlah Masjid di UGM Gelar Salat Gaib Doakan Mendiang
- BPBD Sleman Alokasikan 100.000 Liter Air untuk Dropping
- Mahasiswa Meninggal karena Kecelakaan Laut, UGM Kirim Psikolog ke Lokasi KKN di Maluku Tenggara
- Tol Jogja-Solo Ruas Klaten-Prambanan Resmi Dibuka: Begini Cara Gratis Keluar dan Masuk di Gerbang Tol dan Exit Toll Prambanan
Advertisement
Advertisement