Pernikahan Usia Muda di Jogja, Fenomena Lama yang Mesti Ditekan
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Pernikahan usia muda menjadi fenomena lama yang terus berulang. Banyaknya anak usia sekolah yang jadi korban pernikahan usia muda menjadi tantangan bagi pemerintah dan semua pihak untuk diatasi.
Hal ini terangkum dalam diskusi daring yang digelar Harian Jogja dengan tema Sekolah Yes, Nikah Muda No pada Jumat (21/1/2022).
Advertisement
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Jogja, Edy Muhammad, menyebut fenomena nikah muda atau usia sekolah di wilayah setempat cenderung fluktuatif. Berdasarkan data, pada 2020 lalu ada 188 pengajuan dan 2021 ada 46 pengajuan nikah usia muda melalui instansinya.
"Sementara untuk yang dikabulkan pada 2020 ada 77," kata Edy.
Menurut Edy, meski secara perhitungan ada penurunan pengajuan nikah usia muda di masa pandemi ini, upaya-upaya untuk menekan fenomena itu terus dilakukan. Misalnya dengan pendampingan psikologis, pendidikan reproduksi kesehatan maupun kampanye lainnya. Selain itu, penekanan pencegahan utamanya pula dilakukan kepada anak disertai pendampingan peran orang tua.
"Program pencegahan kami lakukan ke orang tua, teman sebaya, serta masuk melalui institusi agama. Kami juga gerakkan upaya sosialisasi ke arah kota layak anak agar bisa dicegah dan mereka berperan sebagai pelapor dan melapor. Juga ada posyandu remaja, bina keluarga remaja dan lainnya," kata dia.
Edi menyebut umumnya nikah muda disebabkan karena anak hamil. Pemicunya beragam, tetapi cenderung terjadi karena kurangnya pengawasan disertai belum stabilnya emosi anak. Hal ini tentu menjadi persoalan yang kompleks. Oleh sebab itu, pihaknya juga berupaya untuk membuat payung hukum agar problem nikah muda bisa diselesaikan.
"Pemkot sudah mengeluarkan Perda Kota Layak Anak di 2016, lalu 2019 telah keluar Perwal Pencegahan Perkawinan Anak dan 2020 ada Perda Ketahanan Keluarga. Regulasi ini kami harap menjadi upaya dalam menekan kasus nikah pada usia sekolah," sebut dia.
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY menyatakan, kasus nikah muda menjadi salah satu penyumbang angka putus sekolah. Menurut Kepala Disdikpora DIY, Didik Wardaya, pandemi Covid-19 juga menjadi salah satu penyebab kasus nikah muda dan angka putus sekolah masih ditemui di wilayahnya.
"Masih adanya pengajuan nikah dini atau usia sekolah merupakan dampak eksternal dari belajar daring dan karena kurangnya pengawasan dari sekolah sehingga masih jadi temuan," kata Didik.
Didik menjelaskan, kondisi ini tentu berdampak serius. Sebab angka putus sekolah atau kesuksesan program wajib belajar 12 tahun menjadi salah satu indikator dalam mengukur indeks pembangunan manusia (IPM) suatu wilayah. Oleh karena itu, pihaknya mendorong agar program kejar paket bisa dimanfaatkan untuk penyetaraan pendidikan.
"Untuk anak yang menikah di bawah umur atau belum memenuhi wajib belajar kami dorong dengan paket belajar dimaksimalkan, bisa melalui kabupaten/kota atau melalui provinsi," katanya.
Di sisi lain, melalui berbagai program beasiswa, Disdikpora juga berupaya untuk mengajak kembali anak usia sekolah yang telah menikah untuk berani melanjutkan pendidikan. "Kami ada program untuk menarik kembali anak yang nikah muda agar kembali sekolah, bisa dengan beasiswa kartu cerdas bagi yang tidak mampu atau program retrieval," katanya.
Melalui kurikulum pembelajaran yang memasukkan tema-tema seputar kesehatan reproduksi atau pendidikan kesehatan, Didik berharap agar pencegahan pernikahan dini atau usia sekolah juga bisa dimaksimalkan. "Kami juga gandeng instansi lain semisal dari BKKBN dan Kemenag untuk ikut sosialisasi," ujar Didik.
Pendidikan Seks
Anggota Komisi D DPRD DIY, Syukron Arif Muttaqin menyatakan, perlu upaya yang serius agar persoalan pernikahan muda dan usia sekolah bisa diselesaikan. Menurutnya, pembicaraan dan edukasi tentang pendidikan seks perlu dikuatkan sejak dini. Termasuk pula tentang dampak yang ditimbulkan jika pernikahan muda terjadi di usia sekolah.
"Fokus penyelesaian mestinya bisa diarahkan ke dampak dari pernikahan muda. Peran orang tua dan juga sekolah tentunya bisa lebih menyeluruh dalam mengedukasi soal kesehatan reproduksi, karena pembicaraan soal edukasi seks masih menjadi hal yang tabu dan anak cenderung mencari tahu dengan cara yang belum tepat. Makanya harus dilakukan sejak dini dan dirumuskan dengan optimal," katanya.
Bila dibenturkan dengan era keterbukaan informasi di masa sekarang, tentunya tantangan penyelesaian kasus nikah muda atau usia sekolah menjadi lebih berat. Syukron meminta agar Disdikpora dapat memaksimalkan penguatan dan pembelajaran mengenai edukasi seksual. Hal ini tentunya perlu pula dibarengi dengan penguatan nilai keagamaan, agar upaya pencegahan bisa lebih komprehensif.
"Kemudian soal peran orang tua, dengan keterbukaan informasi saat ini kalau tidak ada upaya pendampingan kepada anak tentunya bisa kebablasan dan bebas mengakses apapun. Kalau tidak ada penyaring dan pendampingan yang serius tentunya tantangan menjadi lebih berat," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Puncak Arus Mudik Liburan Natal Diprediksi Terjadi pada 24 Desember
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- KPU Bantul Pastikan Pemilih Tidak Memenuhi Syarat Telah Dicoret dari DPT
- KPU Sleman Memprediksi Pemungutan dan Perhitungan Suara di TPS Rampung Maksimal Jam 5 Sore
- Indeks Masih Jomplang, Penguatan Literasi Keuangan Sasar Mahasiswa UGM
- Undangan Memilih Pilkada Gunungkidul Didistribusikan ke 612.421 Warga
- Satu-satunya yang Gelar Kampanye Akbar, Heroe-Pena Gandeng 15.000 Kawula Muda
Advertisement
Advertisement