Advertisement

Dosen di Jogja Curhat Status Rumahnya Jadi HGB karena Keturunan China

Bernadheta Dian Saraswati
Kamis, 28 April 2022 - 19:17 WIB
Bernadheta Dian Saraswati
Dosen di Jogja Curhat Status Rumahnya Jadi HGB karena Keturunan China Ilustrasi. - Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA-Isu diskriminasi yang dirasakan kaum Tionghoa di Jogja kembali mencuat setelah salah satu pengguna akun Facebook memposting di media sosialnya.

Pengguna akun bernama Risa Karmida itu menceritakan dirinya sudah bekerja keras untuk membeli rumah tetapi kini ia harus merelakan rumahnya berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) karena keturunan China. 

Advertisement

Risa mengunggah kisahnya di Facebook pada Rabu (27/4/2022). Risa Karmida memulai kisahnya dengan berterima kasih kepada Jogja. Meski dia bukan seseorang yang lahir dan dibesarkan di Jogja, namun ia berterima kasih karena sudah diizinkan tinggal dan bekerja di Jogja. 

"Terima kasih Jogja, tempat di mana saya tidak dilahirkan dan tidak dibesarkan, namun sekarang saya diijinkan tinggal dan mencari rejeki," katanya. 

Ia bercerita bahwa Rabu pagi kemarin menjadi hari kelam baginya. Ia meneteskan air mata. Hatinya merasa hancur setelah mendapatkan informasi bahwa rumah miliknya harus turun status menjadi Hak Guna Bangunan atau HGB. Penyebabnya karena ia adalah seorang keturunan China atau Tionghoa. 

Baca juga: Warga Keturunan di DIY Minta Diskriminasi Kepemilikan Tanah Dihapus

"Pagi ini air mata saya menetes... mendapat kabar dari notaris terakhir dari sekian banyak yg saya temui, yang mengkonfirmasi rumah yang saya beli dari hasil perjuangan keringat & air mata bertahun-tahun tidak dapat saya miliki secara Hak Milik. Statusnya harus turun menjadi Hak Guna Bangunan, karena saya keturunan Cina," tulis Risa. 

"Sehitam apapun kulit saya, sebelok apapun mata saya, akta kelahiran tidak bisa berbohong. Ada tanda statblad yang disematkan dukcapil Orde Baru bagi bayi2 keturunan, yang tidak bisa dihapus seumur hidup".

Menurutnya peraturan itu hanya berlaku bagi orang-orang keturunan Tionghoa. Namun ia juga enggan menjelaskan soal asal-muasal peraturan itu. Yang ia tahu pada intinya hak untuk warga pribumi dan nonpribumi dibedakan. 

"Saya malas membahas sisi aturan & sejarahnya. Kepala saya pusing. Yang saya tahu, saya, ibu 2 anak, berjuang membeli tempat berteduh bagi anak2 saya, dengan cara halal, dengan masih nyicil, dan ternyata... haknya dibedakan," lanjut Risa yang berdasarkan penelusuran Harianjogja.com di profil Facebooknya adalah seorang dosen di salah satu Perguruan Tinggi Swasta tersebut. 

Dari pengalamannya itu, ia menegaskan bahwa Sertifikat Hak Milik (SHM) dan HGB sangat jauh berbeda. "Bagi Anda yang bilang sama aja kok SHM dan HGB. Tidak sayangku, HGB itu hanya berlaku 30 tahun, bisa diperpanjang menjadi 20tahun, dan yg ketiga nanti ada proses pembaruan. Semua itu butuh uang tidak sedikit," kata dia. 

"Apakah ada yang mau mengungkit ketakutan jika orang cina bakal menguasai tanah jogja? Saya bosan mendengarnya....".

Andai saja bisa memilih, lanjut Risa, ia ingin terlahir sebagai pribumi dengan segala hak mutlak sebagai warga negara.

Namun ia merasa keinginannya itu sebatas mimpi yang sulit diwujudkan. "Namun sudahlah, kami ini hanyalah kaum numpang...Sudah diijinkan tinggal sudah untung. Seperti nasihat seorang kawan "terima saja, memang tidak adil, tapi terima saja," kata Risa. 

Ia menutup postingan itu dengan ungkapan pasrah sebagai seorang warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dengan segala tindak diskriminasi yang ia rasakan. "Baik, saya terima. Terima kasih," tutup dia.

Risa juga menyertakan foto akta kelahirannya. Ia membubuhkan sebuah lingkaran besar pada bagian statblad.

Hingga berita ini ditulis, ribuan akun memberikan respons. Ada yang mengisi di kolom komentar, ada pula yang mengirimkan banyak emoji. Postingan itu juga sudah dibagikan sebanyak 353 kali. 

Ada yang berkomentar kasus Risa itu mengingatkan pada sila-sila Pancasila. "Jadi teringat sila ke 5 dari Pancasila," tulis salah satu akun. Sila kelima berbunyi "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia".

Ada pula yang mengingatkan untuk mengikuti aturan yang berlaku di tempat ia tinggal. 

"Yang menghujat tolong di pahami dulu peribahasa "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung" Karena memang aturan adatnya seperti itu, yang legowo saja".

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Facebook

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Seorang Polisi Berkendara dalam Kondisi Mabuk hingga Tabrak Pagar, Kompolnas: Memalukan!

News
| Sabtu, 20 April 2024, 00:37 WIB

Advertisement

alt

Pengunjung Kopi Klotok Membeludak Saat Libur Lebaran, Antrean Mengular sampai 20 Meter

Wisata
| Minggu, 14 April 2024, 18:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement