Advertisement

Potensi Bahaya Ultra-Processed Food

Sirojul Khafid
Minggu, 08 September 2024 - 13:57 WIB
Sunartono
Potensi Bahaya Ultra-Processed Food Nasi Kotak - Ilustrasi - Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Ultra-processed food atau makanan ultra olahan berpotensi menyebabkan 30 masalah kesehatan dari penyakit jantung, kanker, hingga kecemasan. Kepraktisan membuat makanan jenis ini semakin populer di banyak negara.

Pada dasarnya, tidak ada definisi tunggal mengenai makanan ultra olahan. Secara umum, makanan jenis tersebut mengandung bahan-bahan yang tidak digunakan dalam masakan rumahan. Banyak bahan kimia, pewarna, hingga pemanis digunakan untuk memperbaiki penampilan, rasa, atau tekstur makanan.

Advertisement

Sebuah studi dari Imperial College London menunjukkan bahwa lebih dari satu miliar orang di seluruh dunia mengalami obesitas. Perbandingannya sekitar satu dari delapan. Salah satu dugaan penyebab obesitas ini berasal dari makanan ultra olahan.

Di kalangan anak-anak dan remaja, tingkat obesitas meningkat lima kali lipat antara tahun 1990 dan 2022. Angka tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat pada perempuan dan hampir tiga kali lipat pada laki-laki. Data terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Observatorium Kesehatan Global, dari tahun 2016, menyebutkan bahwa lebih dari 28% orang dewasa di Amerika kini mengalami obesitas. Sementara obesitas di Eropa mencapai 26%, Mediterania Timur 19%, dan Afrika 9%.

“Di banyak negara di dunia, makanan ultra olahan kini lebih terjangkau, dan lebih mudah diakses, dibandingkan makanan tradisional utuh yang ada di pasaran,” kata dokter spesialis nutrisi di UNICEF, Claire Johnson.

Federasi Diabetes Internasional menyatakan semakin banyak orang di seluruh dunia yang mengidap diabetes tipe 2. “Gula, garam, dan lemak dalam makanan ultra olahan merupakan faktor risiko terkena diabetes tipe 2, begitu juga dengan pola makan tinggi kalori dan rendah nutrisi,” kata Profesor Kesehatan Masyarakat di Universitas Helsinki, Jaakko Toumilehto.

Timur Tengah dan Afrika Utara mengalami peningkatan jumlah penderita diabetes tipe 2 yang sangat tinggi. “Banyak dari negara-negara ini tidak memproduksi pangan sendiri. Makanan ultra olahan mudah diangkut dan disimpan,” kata Toumilehto.

Tidak Semua Makanan Sama

Makanan ultra olahan berpotensi berkontribusi terhadap malnutrisi di banyak negara. Meski yang perlu diperhatikan, tidak semua makanan ultra olahan kandungannya sama.

Dokter dari Universitas Purdue di Amerika Serikat, Johnson, mengatakan makanan ultra olahan seringkali kehilangan berbagai kandungan baik untuk tubuh. “Seringkali makanan ini kekurangan mikronutrien yang terkandung dalam makanan utuh tradisional, seperti zat besi, mineral, dan vitamin,” katanya.

Meski di sisi lain, makanan ultra olahan bisa saja memberikan beberapa manfaat. Beberapanya seperti menyediakan nutrisi seperti vitamin E dan kalsium, menawarkan pilihan yang lebih terjangkau dibandingkan makanan segar bagi masyarakat berpenghasilan rendah, mengurangi pemborosan makanan, dan risiko keracunan makanan.

British Nutrition Foundation, yang bekerja sama dan menerima sumbangan dari perusahaan makanan, juga menyoroti bahwa tidak semua makanan ultra-olahan itu sama. “Beberapa makanan yang dapat digolongkan sebagai makanan ultra olahan, seperti sereal sarapan gandum utuh, roti gandum, dan yogurt rendah lemak mungkin memiliki kandungan lemak, garam, dan gula yang lebih rendah,” kata Direktur Sains British Nutrition Foundation, Sara Stanner. “Ini bisa menjadi sumber nutrisi dan serat penting.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Gempa Mag 5,1 Guncang Papua

News
| Selasa, 17 September 2024, 02:27 WIB

Advertisement

alt

Kota Jogja Masih Jadi Magnet Wisatawan

Wisata
| Minggu, 08 September 2024, 11:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement