Advertisement

Kolaborasi Kraton Jogja dan Pemda DIY Lestarikan Sumbu Filosofi

Media Digital
Sabtu, 21 September 2024 - 13:07 WIB
Maya Herawati
Kolaborasi Kraton Jogja dan Pemda DIY Lestarikan Sumbu Filosofi Penghageng Tepas Tandha Yekti Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu. - dok - Harian Jogja

Advertisement

JOGJA—Penetapan Sumbu Filosofi sebagai warisan budaya dunia bukan sebagai akhir, melainkan awal dari upaya melestarikan demi generasi berikutnya.

Pengakuan UNESCO juga menguatkan posisi Sumbu Filosofi yang di dalamnya terdapat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk tetap survive ratusan tahun ke depan. Melestarikan kawasan yang luas tersebut tidak mungkin dikerjakan oleh satu pihak saja, namun butuh sinergi dengan pemerintah dan peran serta masyarakat.

Penetapan UNESCO menjadikan upaya pelestarian menjadi lebih terstruktur dalam menangani secara bersama-sama melalui tanggung jawab dan kewenangan Kraton Ngayogyakarta, Pemda DIY, dan masyarakat.

Kraton Ngayogyakarta sudah melakukan banyak langkah dalam menindaklanjuti penetapan Sumbu Filosofi oleh UNESCO, terutama dalam menyiapkan berbagai dokumen untuk persyaratan agar status tersebut tetap bisa dipertahankan.

Dalam perjalanannya, ada banyak tantangan. "Misalnya kemarin itu kami membahas masalah disaster risk management, dari yang fisik seperti antisipasi kebakaran dan gempa itu bagaimana. Belum lagi barang yang ada di kraton, pengamanan arsitektur bangunan, memastikan tidak over crowded yang bisa mengancam bangunan, sampai bagaimana pengamanan data digital, ini sangat rigid," kata Penghageng Tepas Tandha Yekti Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu dalam wawancara dengan Harianjogja.com, Jumat (20/9/2024).

Advertisement

Aspek Sumbu Filosofi tidak hanya bangunan arsitektur fisik, tetapi juga vegetasi. Karena dalam vegetasi tersebut terselip makna penting kehidupan manusia yang tetap harus dijaga. Kraton yang memiliki peran penting harus memastikan bahwa vegetasi yang ada di Sumbu Filosofi sesuai dengan ketentuan ketika dibangun pertama kali oleh Sri Sultan Hamengu Buwono I. 

Hal ini pun menjadi tantangan tersendiri karena pernah ditemui pula ada masyarakat yang mungkin belum paham. Mereka mengganti vegetasi di sepanjang Sumbu Filosofi tersebut tidak sesuai ketentuan.

"Contoh lain ketika pohon beringin roboh, tidak bisa diganti dengan asal atau sembarang pohon beringin. Tetapi harus diambilkan dari putranya [perkembangbiakan/pembibitan] dari pohon beringin di dalam di Alun-Alun Utara. Jadi kami harus memastikan itu beringin mutrani-nya [hasil pembibitan dari benih utama] di mana, proses vegetasinya, filosofinya. Itu belum tata ruangnya," katanya.

BACA JUGA: TPSS Pasar Angkruksari Bantul Mulai Beroperasi Pekan Depan

Kolaborasi dengan Pemda DIY pun harus dilakukan. Mengingat Pemda DIY berperan sangat besar untuk pembangunan fisik. Di sisi lain Kraton harus memastikan bahwa pembangunan fisik sebagai upaya pelestarian harus sesuai nilai dan kredo dari HB I.

Melalui sinergi tersebut, hasil dari pelestarian fisik yang dijalankan Pemda DIY sesuai dengan nilai Sumbu Filosofi. Hayu mengatakan kadang ditemukan kendala tersendiri akan tetapi secara perlahan bisa diatasi melalui komunikasi intens.

Dengan adanya penetapan UNESCO pula kolaborasi Kraton dengan Pemda DIY sudah memiliki acuan yang lebih solid.

Titik mana saja yang perlu didahulukan untuk ditata agar bisa sesuai standar internasional atau sesuai arahan UNESCO pun bisa diketahui.

"Di Kraton tidak ada KPI [key performance indicator] sehingga kerjanya mana yang didahulukan dan kadang ada yang terlupa. Tetapi kami terbantu dengan adanya deadline [dari UNESCO] sehingga bisa dikerjakan dengan baik," ujarnya.

Kraton, kata Hayu, berusaha memahamkan kepada masyarakat, khususnya luar DIY bahwa Sumbu Filosofi bukan hanya yang wujud. Akan tetapi perlu juga memahami asal muasal tata kota tersebut dibangun dengan memegang teguh prinsip orang Jawa, khususnya ajaran dari Sultan HB I yaitu Hamemayu Hayuning Bawana dan Sangkan Paraning Dumadi. Upaya ini memang bukan perkara mudah. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menyampaikan nilai-nilai yang terkandung dalam Sumbu Filosofi kepada wisatawan, khususnya turis asing.

Hayu mengatakan upaya mengembalikan kondisi Sumbu Filosofi agar sesuai nilai yang diajarkan oleh HB I tidak mudah. Bahkan oleh sebagian masyarakat, upaya mengembalikan ke fungsi aslinya sering dianggap sebagai perubahan.

Melalui sosialisasi yang terus menerus, ia melihat saat ini secara perlahan masyarakat mulai memahami.  "Contohnya terkait dengan Sekaten.

Selama ini pemahaman masyarakat Sekaten itu pasar malam, ketika kami membuat konten Sekaten di medsos kemudian ada warganet yang bertanya tentang Sekaten dianggapnya pasar malam, tetapi ada warganet lain yang bukan dari tim kami bisa menjelaskan bahwa yang tidak ada pasar malamnya, kalau upacara Sekaten itu masih ada dan Sekaten itu bukan pasar malam. Kami terus berusaha meluruskan mindset," ucapnya.

Di sisi lain Kraton Ngayogyakarta berusaha keras untuk membentengi nilai budaya Jogja termasuk nilai Sumbu Filosofi dari gempuran budaya asing. Hayu lebih sepakat dengan menggaet anak muda, minimal generasi ini tertarik dulu terhadap suatu warisan budaya seperti Kraton, Sumbu Filosofi dan lainnya tanpa harus memberikan target kepada mereka akan memahami nilainya.

Kraton Ngayogyakarta memastikan bisa berkembang sesuai zaman tetapi tidak meninggalkan inti budaya. Oleh karena itu, Kraton aktif menggelar orkestra, ajang kolaborasi musik modern dan musik tradisional Kraton Jogja hingga pameran digitalisasi naskah kuno Kraton. Tujuannya agar anak muda bisa datang dan suka dengan warisan budaya tersebut.

Beberapa kali memang ada perbedaan pendapat antara kaum muda dengan tua di lingkungan Kraton terkait dengan upaya menyesuaikan zaman dalam pelestarian warisan budaya. Meski demikian, melalui diskusi perbedaan itu bisa dipecahkan.

Di satu sisi, pendapat kalangan tua ada manfaatnya terutama memberikan batasan nilai apa saja yang perlu dilestarikan, selanjutnya kalangan muda mencari jalan pelestarian.

"Ini juga ada tantangannya, ketika kami menggelar flashmob, ada masukan, masak penari Kraton menari di jalan. Ada diskusi antara kami yang ingin menyesuaikan zaman dengan pemikiran bahwa Kraton harus eksklusif. Tetapi dari flashmob itu akhirnya banyak anak muda yang tertarik belajar menari," katanya.

Dalam rangka menyosialisasikan Sumbu Filosofi, Kraton juga menggelar pameran berbagai koleksi Kraton sebanyak dua kali.

Selain itu menggelar pelatihan atau workshop, salah satunya tata cara pengageman untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait cara memakai pakaian adat kraton sesuai nilai yang ada.

"Karena ada ketentuan, misal kalau di Kraton yang boleh pakai brokat siapa, tidak boleh pakai batik apa, pakai janggan dan lainnya. Ini kami proses beradaptasi, karena ada wisatawan yang datang langsung memakai baju adat tetapi tidak sesuai [ketentuan aturan di Kraton], di satu sisi kami apresiasi, tetapi di sisi lain kami harus memegang aturan Kraton," ujarnya  

Adapun dari sisi pariwisata, Kraton Ngayogyakarta sedang mengupayakan pariwisata yang tidak sekadar untuk meningkatkan kuantitas semata, tetapi lebih mengedepankan kualitas atau quality tourism.

Sehingga produk wisata di kawasan Sumbu Filosofi yang diupayakan tidak mengejar jumlah kunjungan, namun bisa mendatangkan manfaat ekonomi yang lebih banyak.

"Kalau jumlah turis stabil tetapi pendapatan naik, sampahnya juga tidak naik. Ini bagian dari upaya pariwisata berkelanjutan," katanya. (***)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Pilot Susi Air Dibebaskan dari Penyanderaan, Ini Kata Susi Pudjiastuti

News
| Sabtu, 21 September 2024, 12:07 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Tempat-Tempat Wisata di Vietnam yang Jadi Favorit Wisatawan

Wisata
| Kamis, 19 September 2024, 23:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement