Advertisement

Dinilai Memberatkan Pekerja, SPSI Bantul Tolak Program Tapera

Stefani Yulindriani Ria S. R
Selasa, 08 Oktober 2024 - 16:27 WIB
Abdul Hamied Razak
Dinilai Memberatkan Pekerja, SPSI Bantul Tolak Program Tapera Perumahan - ilustrasi - Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, BANTUL–Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Bantul menolak kebijakan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang akan dikenakan kepada pekerja yang bergaji di atas Upah Minimum Regional (UMR).

Ketua DPC SPSI Bantul, Fardhanatun dengan tegas menolak kebijakan tersebut. “Kami menolak Tapera, karena sangat memberatkan kami,” ujarnya, Selasa (8/10/2024). 

Advertisement

BACA JUGA: Tapera, Tabungan Perumahan Rakyat atau Tabungan Pemberat Rakyat

Menurut Fardhanatun, potongan tersebut dinilai memberatkan. Meskipun kebijakan tersebut mengatur pekerja hanya dibebani dengan potongan sebesar 0,5% dari gaji.

Fardhanatun menuturkan, selama ini pekerja di Bantul memiliki UMK yang minim hanya berkisar Rp2,2 juta. Angka tersebut pun telah meningkat 7,26% dari UMK tahun 2024. 

"Kalau dipotong 0,5% jadi berapa [UMK]? Belum potongan lainnya. Kami menolak Tapera," katanya.

Dia menilai, potongan Tapera akan membuat upah yang diterima pekerja Bantul setiap bulannya semakin menurun. Dia menambahkan, selama ini pekerja telah dibebani iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, kebutuhan pokok dan biaya hidup lain terus meningkat. 

Fardhanatun menyampaikan, pihaknya di tahun 2023 lalu mengajukan usulan untuk kenaikan UMK sekitar 10%. Namun, usulan tersebut tidak disetujui. Sebab dewan pengupahan mempertimbangkan beberapa indikator perhitungan, antara lain kondisi ekonomi, dan inflasi.

Dia menilai, kenaikan UMK 7,26% tersebut tidak seberapa. Apalagi jika ditambah potongan Tapera. 

"Tapera kami menolak karena potongan terlalu tinggi. Tapera itu seharusnya tanggungjawab pemerintah [penyediaan perumahan rakyat] bukan kami yang dipotong [upahnya]," ucapnya. 

Dia menyebut, pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan perumahan bagi masyarakat. Penyediaan rumah itu seharusnya dialokasikan dengan anggaran pemerintah yang ada, bukan malah menghimpun dana dari pekerja.

Menurut Fardhanatun, sebagian besar pekerja di Bantul merupakan warga lokal. Sehingga mayoritas dari mereka telah memiliki lahan atau rumah warisan keluarga. 

Dia menilai, kebijakan tersebut tidak dapat diterapkan secara merata pada semua pekerja. Namun, disesuaikan dengan kebutuhan tiap pekerja. "Yang punya rumah warisan orang tua apakah juga dipotong [upahnya]? Untuk sehari-hari saja tidak cukup," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

BPOM Sita Obat Bahan Alam Ilegal di Jawa Barat Senilai Rp8,1 Miliar

News
| Selasa, 08 Oktober 2024, 20:17 WIB

Advertisement

alt

Staycation di Hotel Masih Ngetren, Simak Tipsnya

Wisata
| Kamis, 03 Oktober 2024, 21:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement