Peluncuran Buku Parmusi, Sebuah Patahan Sejarah Politik Muhammadiyah
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA–Buku Parmusi: Pergulatan Muhammadiyah dalam Partai Politik 1966-1971 kembali menarik perhatian publik, khususnya kalangan Muhammadiyah.
Peluncuran buku ini disambut baik oleh Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Muhammadiyah, David Efendi. Menurutnya, buku ini hadir pada waktu yang tepat, di tengah upaya Muhammadiyah untuk memperkuat ideologi dan kepemimpinan nasional.
Advertisement
"Apresiasi terhadap buku ini sangat penting. Beberapa bulan terakhir kami keliling dengan pelatihan ideologi dan kepemimpinan nasional, dan salah satu balasannya yakni dari buku ini. Catatan yang penting dalam buku ini adalah kapan Muhammadiyah berpolitik sebagai kesadaran individu dan organisasi," ujar David, Selasa (19/11/2024).
Buku ini, menurut David, berhasil mengungkap sebuah patahan sejarah penting dalam perjalanan politik Muhammadiyah. Yakni, ketika Muhammadiyah memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam politik praktis melalui partai politik. "Apakah ini model high politics yang baru?" Katanya.
Senada dengan David, Direktur Media Suara Muhammadiyah dan Publikasi, Isngadi Marwah Atmadja, juga memberikan apresiasi terhadap buku ini. Menurutnya, pengalaman Muhammadiyah dalam mendirikan Partai Muhammadiyah (Parmusi) memiliki kemiripan dengan trauma berdirinya Bank Bumiputra Indonesia (BBI).
BACA JUGA: Catat Tanggalnya! Disbud Agendakan Lagi Gelaran Warisan Budaya Tak Benda
"Parmusi itu seperti BBI. Karena itu, keduanya adalah trauma terakhir yang membekas. Politik dan ekonomi. Sejarah tidak perlu ditakuti tapi diulangi dengan cara baru agar sukses. Politik juga harus dipahami dan dipelajari," jelas Isngadi.
Buku Parmusi sendiri secara rinci mengulas perjalanan Muhammadiyah dalam ranah politik praktis melalui partai politik. Pengalaman Parmusi, menurut buku ini, menjadi titik balik yang signifikan dalam sejarah Muhammadiyah.
"Buku ini menegaskan, bahwa pengalaman Parmusi menjadi peneguh atas lahirnya Khittah Ujungpandang 1971 yang membentuk logika kelembagaan yang kuat bagi Muhammadiyah dalam menghadapi dinamika politik praktis," kata penulis buku Ridho Al-Hamdi.
Sebelum tahun 1971, kesadaran politik Muhammadiyah lebih bersifat individual. Namun, melalui Parmusi, Muhammadiyah berhasil membangun kesadaran kelembagaan yang kuat. "Parmusi telah membentuk kesadaran Muhammadiyah dari kesadaran individual (individual consciousness) antara 1912-1971 menjadi kesadaran kelembagaan (institutional consciousness) antara 1971-sekarang," jelasnya.
Pengalaman Parmusi juga telah membuktikan keberhasilan Muhammadiyah dalam membentuk imunitas politik.
"Tidak ada lagi keterlibatan terdalam Muhammadiyah ke partai politik sedalam keterlibatan di tubuh Parmusi. Parmusi menjadi pengalaman pertama dan terakhir bagi Muhammadiyah dalam urusan politik praktis," jelasnya.
Tahun 1971 menjadi batas yang jelas bagi Muhammadiyah dalam berpolitik. Sebelum tahun itu, Muhammadiyah aktif terlibat dalam politik praktis. Namun, setelah tahun 1971, Muhammadiyah lebih fokus pada penguatan kelembagaan dan dakwah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
BUMN Dukung Upaya BP Haji Tingkatkan Kualitas Pelayanan Haji
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Ini Komitmen Harda Kiswaya Perhatikan Pemuda dan Perempuan di Sleman
- Tunggakan PBB-P2 di Sleman Tembus Rp146 Miliar
- PP Muhammadiyah Agendakan Tanwir di Kupang Awal Desember
- Jadwal KRL Jogja Solo Terbaru, Selasa 19 November 2024, Berangkat dari Stasiun Tugu Jogja hingga Purwosari
- Jadwal SIM Keliling Ditlantas Polda DIY Hari Selasa 19 November 2024: Di Kantor Kelurahan Condongcatur
Advertisement
Advertisement