Advertisement
Kadin DIY Dorong Standar Kemiskinan Indonesia Ikut Versi Bank Dunia

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Ketua Komtap Pembinaan dan Pengembangan Sekretariat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DIY, Timotius Apriyanto mengatakan dalam menentukan standar kemiskinan, mestinya Indonesia mengikuti versi Bank Dunia sehingga bisa selaras.
Bank Dunia memiliki tiga pendekatan dalam mengukur kemiskinan, yakni untuk menghitung tingkat kemiskinan ekstrem 2,15 dolar AS per kapita per hari, negara-negara berpendapatan menengah bawah 3,65 dolar AS per kapita per hari, dan untuk negara-negara berpendapatan menengah atas 6,85 dolar AS per kapita per hari.
Advertisement
Kemudian dikonversi dalam dolar AS PPP atau purchasing power parity, di mana per 1 dolar AS PPP 2024 setara dengan Rp5.993,03. Sehingga didapatkan angka kemiskinan Indonesia 60,3 persen.
BACA JUGA: Modus Penipuan Gadai Barang Lewat Facebook, Pelaku Bawa Kabur Motor
"Sedangkan data BPS hanya 8,47 persen, DIY sekarang 10,23 persen, nah artinya bahwa masalah angka kemiskinan saja kita ada disparitas cukup jauh cara ukurnya," ujarnya, Senin (28/7/2025).
Mestinya ada konsensus terkait hal ini karena menyangkut kebijakan politik. Indonesia mau mengikuti standar Bank Dunia atau membuat standar sendiri. Bicara kemiskinan, kata Timotius, banyak aspek di dalamnya. Dari sisi ekonomi pembangunan, pendidikan, kesejahteraan sosial, ketenagakerjaan, hingga budaya.
"Apakah BPS bisa gunakan angka dan metode Bank Dunia apa enggak, kalau satu masalah ini tidak diselesaikan akan timbul masalah lain, angkanya beda dan pendekatan aksinya beda," katanya.
Pemerintah harus fokus melakukan upaya penyelamatan ekonomi nasional dan kemiskinan ekstrem. Ia menyebut saat ini posisi Indonesia di upper middle income terancam turun ke lower middle income. Menunjukkan perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Menurutnya ketidakpastian ekonomi dan volatilitas politik global akan berdampak pada resesi ekonomi dunia, yang akan diikuti oleh resesi ekonomi nasional.
"Untungnya DIY sejak kuartal I sudah menunjukkan resilience growth di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Kuartal II cenderung di bawah 5 persen nasional," ucapnya.
BACA JUGA: Warga Tuksono Kulonprogo Protes Aktivitas Tambang Pasir CV Barokah Karya Sejahtera
Timotius menjelaskan faktor global menekan kinerja ekspor baik nasional dan DIY. Kondisi ini akan berdampak pada perlambatan ekonomi dan potensi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di semester II baik nasional dan DIY.
Paket Insentif
Dia mendorong agar pemerintah melanjutkan enam paket insentif. Untuk Bantuan Subsidi Upah (BSU) skalanya perlu dinaikkan tidak hanya Rp300.000 per bulan dan berlaku dua bulan saja. Sebab jumlah yang terlalu kecil tidak berdampak pada konsumsi.
Menurutnya stimulus kebijakan perlu diperpanjang sampai akhir tahun. Lalu batas maksimumnya ditingkatkan dari Rp3,5 juta menjadi Rp5 juta, seperti pada zaman pandemi Covid.
Kemudian subsidi listrik, subsidi asuransi kesehatan, subsidi transportasi, dan lainnya juga dilanjutkan. Dalam konteks menyelamatkan ekonomi nasional. "Sudah ada enam stimulus dilanjutkan, dan yang paling penting penyelamatan dengan deregulasi dan debirokratisasi," ujarnya.
Ia mengatakan pertumbuhan ekonomi diukur dari belanja pemerintah, konsumsi, investasi, dan ekspor. Untuk mendongkrak ekspor saat ini sedang diperjuangkan, menghadapi lesunya pasar AS dan mendongkrak investasi juga tidak mudah.
"Sehingga dua variabel yang perlu diperhatikan pemerintah adalah government spending dan konsumsi."
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement

Wisata Favorit di Asia Tenggara, dari Angkor Wat hingga Tanah Lot
Advertisement
Berita Populer
- Alokasi Pendidikan di RAPBD Kulonprogo 2026 Mencapai Rp353 Miliar
- Berlangsung Cuma 7 Hari, Pasar Kangen TBY Start Mulai 18 September
- Ditahan Kejati DIY, Mantan Dukuh Candirejo Sleman Rugikan Negara Rp733 Juta
- DPRD DIY Dukung Usulan Sultan Soal BUKP Gunungkidul Jadi Perseroda
- Pendapatan Pemkab Gunungkidul Diproyeksi Rp1,9 Triliun pada 2026
Advertisement
Advertisement