Advertisement
Kisah Pertemuan Fotografer Satwa dengan Macan Tutul

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Dari mata, turun ke hati. Dari foto satwa, harapannya semakin banyak yang menjadi pelestari alam. Ignas Seta Dwiwardhana berusaha menebarkan cinta pada satwa di masyarakat melalui hasil jepretannya.
Ignatius ‘Ignas’ Seta Dwiwardhana perlu mengganti mobil menjadi motor, untuk bisa menelusuri hutan di Situbondo, Jawa Timur. Di titik tertentu, dia harus meninggalkan motornya, untuk kemudian jalan kaki. Semua persiapan sudah matang, termasuk tidak menggunakan parfum, merokok, atau sesuatu lain yang menimbulkan bau.
Advertisement
Tujuan utama penelusuran beberapa tahun lalu itu untuk memotret macan tutul. Satwa itu jenis karnivora yang sudah Ignas cari bertahun-tahun. Dia sangat sensitif dengan aroma. Ignas harus sabar menunggu, termasuk hingga larut malam. Banyak hewan yang baru muncul setelah matahari terbenam. Benar saja, Ignas baru melihat macan tutul yang hendak mencari minum sekitar pukul 23.00 WIB.
“Ketemu macan tutul dengan jarak yang hanya ratusan meter. Enggak ada rasa takut, hanya ada takjub, melihat karnivora besar di Pulau Jawa, pengalaman yang susah dijelasin [dengan kata-kata],” kata Ignas, beberapa waktu lalu.
Pertemuan dengan macan tutul itu baru satu dari sekian banyak satwa yang Ignas temui, sejak dia menjadi fotografer satwa. Ini perjalanan panjang. Saat kecil, Ignas memang senang dengan segala jenis hewan. Orang tua punya pengaruh besar dalam membelikan poster atau gambar tentang hewan. Kini, hewan yang dahulu hanya berupa gambar, bisa dia lihat secara langsung dan nyata.
BACA JUGA: Koperasi Desa Merah Putih di DIY Ditargetkan Beroperasi Penuh Oktober 2025
Perjumpaan awal Ignas dengan fotografi berlangsung saat masuk ekstrakurikuler di SMA. Kesenangan berlanjut dengan ikut Atmajaya Fotografi Club saat kuliah di Atmajaya Jogja. Di masa itu, dia tidak jarang membantu teman dari Fakultas Biologi untuk memotret satwa dalam rangka penelitian.
Sedikit Fotografer Satwa
Saat masih kuliah, Ignas sering melihat majalah satwa. Fotografernya kebanyakan orang luar negeri. Namun dia menemukan satu nama orang Indonesia, Riza Marlon. Pekerjaan di stasiun televisi selepas kuliah membawanya bertemu dengan Riza Marlon pada 2002.
Empat tahun kemudian, Ignas meminta izin Riza untuk mengikutinya memotret di hutan. Ignas ingin tahu lebih dekat dunia fotografi satwa. Dia melihat Riza sebagai orang Indonesia pertama yang fokus pada fotografi satwa. "Terus banyak ngobrol, kenapa kaya gini, terdoktrin, ini kan alam kita, kenapa orang luar terus yang memotret,” kata Ignas yang saat ini berusia 46 tahun.
Ignas bukan sentimen dengan fotografer luar negeri. Justru dia kagum. Fotografer Indonesia perlu lebih banyak mendokumentasikan alamnya sendiri. Dengan luasnya Indonesia, banyak satwa yang mungkin belum banyak orang kenal atau tahu. “Indonesia nih gede banget, 1.000 Riza Marlon untuk ngeliput seluruh Indonesia juga enggak mungkin. Dengan omongan Om Riza itu, saya terbakar,” katanya.
Ignas semakin serius menekuni fotografi satwa. Saat masih kerja kantoran, jatah cutinya kerap habis untuk menjelajah berbagai tempat di Indonesia. Kemudian Ignas keluar kerja dan mendirikan usaha. Dia ingin lebih fleksibel untuk memotret.
Setidaknya dalam setahun, minimal sekali Ignas menjelajah alam Indonesia. Bisa dengan pendanaan pribadi, kerja sama, atau membantu proyek penelitian tertentu. Sejauh ini, semua pulau besar di Indonesia sudah dia kunjungi. Beberapa pulau kecil juga sudah dia jelajahi.
Macan tutul, anjing ajak, buaya mulut panjang, banteng Jawa, burung raja udang dada sisik merupakan beberapa hewan yang sudah masuk dalam bidikan lensanya. Meski sudah banyak jenis hewan, masih banyak satwa yang belum Ignas temui, salah satunya badak Jawa. Kadangkala hewan muncul dalam waktu-waktu yang tak terduga. Kemunculan satwa saat dia sedang berkamuflase, kemudian terlalu dekat dengan tempat pengamatan, membuatnya susah untuk memotret.
Berkejaran dengan Waktu
Dunia memotret satwa seperti ini seakan berkejaran rusaknya hutan. Ignas pernah mendengar prediksi Riza Marlon, bahwa fotografer berkejaran dengan para perusak hutan. "Yang penting kita dapet duluan [fotonya], kita enggak tahu kondisi hutan gimana ke depannya. Meski peralatan motretnya sederhana, yang penting dapet dulu,” kata Ignas.
Untuk membantu fotografer yang tertarik dalam dunia ini, Ignas menulis buku berjudul ‘Satwa Lewat Lensa' yang berisi pengalaman memotret satwa lengkap panduan-panduannya. Kembali lagi di awal, butuh lebih banyak Riza dan Ignas untuk mendokumentasikan segala ragam satwa di Indonesia.
BACA JUGA: Sekolah di Moyudan Sleman Dibobol Maling, Uang Puluhan Juta Hilang
Masyarakat Indonesia perlu tahu alamnya. Bukan untuk kemudian diambil, apalagi dirusak. Dengan mengetahui ragam satwa dan manfaatnya bagi alam, Ignas berharap tumbuh rasa cinta. Saat cinta mulai tumbuh, keinginan dan kesadaran untuk merawat satwa beserta alamnya juga diharapkan turut hadir. “Agar masyarakat Indonesia tahu, kita masih punya keanekaragaman hayati yang luar biasa,” katanya.
Mendokumentasikan satwa melalui lensa kamera seperti estafet dokumentasi satwa, bahkan sejak zaman purba. Dahulu, penggambaran pentingnya satwa dalam kehidupan tertuang dalam lukisan di gua atau relief di candi. Kini bentuknya dalam foto atau video. Ini sebagai penghargaan untuk satwa.
Seperti ucapan Mahatma Gandhi, “Kebesaran suatu bangsa dan perkembangan moralnya dapat dinilai dari cara mereka memperlakukan binatang.”
Butuh Dana Besar
Tak hanya butuh persiapan secara kemampuan, memotret satwa di alam juga butuh dana besar. Sayangnya, susah untuk kemudian mendapat uang darinya. Ignas menyebut kondisi fotografi satwa ini sebagai lahan kering. Menjual foto satwa susah. Membuat buku atau kegiatan yang berkaitan satwa juga dianggap kurang populer.
“Saat mau meluncurkan buku [tentang satwa] serta pameran, produser media yang kami undang mengatakan isu ini enggak seksi,” kata Ignas.
Padahal pemahaman tentang satwa saat ini masih cukup memprihatinkan. Dalam pengenalan satwa pada anak-anak, Ignas pernah menunjukan foto tarsius, yang anak-anak anggap sebagai koala. Monyet hitam atau yaki juga disebut gorilla. Bisa jadi ini dampak dari banyaknya tayangan tentang satwa, yang lebih didominasi hewan-hewan dari luar negeri, entah Afrika ataupun Australia.
“Bahkan pernah ada yang nanya, kalau di Baluran, Banyuwangi, masih ada jerapah enggak ya? Ini kan aneh bagi orang yang ngerti, jerapah hanya ada di Afrika,” katanya.
BACA JUGA: Potensi Dana Donasi di Indonesia Lebih dari Rp600 Triliun
Tentu ini bukan salah siapa-siapa. Keadaan yang justru menjadi pekerjaan rumah banyak pihak, baik fotografer, pemerintah, swasta, sampai komunitas. Tidak bisa mengenalkan keragaman satwa yang punya manfaat masing-masing pada alam dengan sedikit pihak.
Ignas berharap ke depan anak bangsa semakin mengenal negerinya. "Tapi kini pemahaman masyarakat semakin membaik. Semakin banyak juga fotografer satwa di daerah-daerah," kata Ignas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement

Wisata Sejarah dan Budaya di Jogja, Kunjungi Jantung Tradisi Jawa
Advertisement
Berita Populer
- 4.395 Puisi Turut Merayakan Festival Sastra Yogyakarta 2025
- Hingga Juli 2025, Kunjungan Wisatawan ke Bantul Tembus 1,18 Juta Orang
- Bangunan Liar Milik Pedagang di Aliran Sungai Pantai Drini Dibongkar
- Masjid An-Nashir Nitikan Jogja Bangun Rumah Tahfiz
- Pembangunan Sekolah Rakyat di Seyegan Tunggu Izin Pemanfaatan TKD
Advertisement
Advertisement