Walhi Sebut Biang Kerok Semakin Seringnya Bencana Alam di Jogja
Advertisement
Harianjogja.com, JOGA—Banyaknya bencana yang terjadi selama dua pekan terakhir di DIY disoroti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jogja. Eskalasi kejadian bencana di DIY, menurut Walhi Jogja, diduga terjadi karena pola pembangunan yang ekstraktif yang mengubah bentang alam untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur.
Pembangunan yang ekstraktif tersebut dengan mengubah banyak fungsi lahan dan luasan ruang terbuka hijau. Direktur Walhi Jogja Halik Sandera menjelaskan perubahan fungsi lahan membuat bencana sering terjadi.
Advertisement
“Dari kawasan karst di Gunungkidul, kawasan pertanian di pesisir, kawasan perkotaan yang tidak terpenuhi RTH-nya [ruang terbuka hijau], sampai di lereng Merapi yang terus ditambang. Semuanya bentang alam ini menyusut, jadi wajar banyak longsor karena daya dukung alam melampaui batas,” jelasnya, Senin (20/2/2023).
Daya dukung alam, jelas Halik, di DIY sudah melebih batas. “Gunungkidul yang dulu hampir tidak pernah banjir sekarang sering banjir itu bukti ada salah arah pembangunan yang menyebabkan daya dukung alam sudah melebih kapasitas,” ujarnya.
Halik mencontohkan kawasan karst di Gunungkidul yang terus dikepras untuk pembangunan infrastruktur dan wisata dimana ponor (lubang air) yang berfungsi sebagai jalur air hujan mengalir, tertutupi oleh beton atau aspal pembangunan sehingga rentan banjir. “Sampai sekarang pembangunan JJLS [Jalur Jalan Lintas Selatan] itu juga tidak terkontrol dengan baik, tidak ada batasannya apakah sebuah bukit karst boleh atau tidak dikepras indikatornya tidak ada,” katanya.
Di kawasan Menoreh di Kulonprogo, jelas Halik, pembangunannya juga tak terkendali. “Padahal di Menoreh ini masuk rawan bencana, tapi pembangunan tidak terarah dengan baik. Pemerintah itu kan punya peta kebencanaan apakah itu sudah dijalankan ternyata juga belum,” ucapnya.
Di Bantul, Halik mencontohkan tidak adanya penertiban pembangunan wisata di Bukit Hargodumilah Piyungan padahal zona merah rawan longsor. “Selain pola pembangunan ternyata penindakan dan penertiban atas peta kebencanaan juga tidak tegas, ini juga yang makin memperbanyak eskalasi kejadian bencana,” ucapnya.
Walhi mengusulkan agar dilakukan moratorium pembangunan dan penertiban kawasan dengan baik agar kejadian bencana dapat lebih dikendalikan. “Dua hal itu saja jalan yang bisa diambil agar mitigasi terutama antisipasi bencana dapat dilakukan,” tegasnya.
Sebelumnya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY juga mencatat kenaikan signifikan bencana hidrometeorologi di DIY bbeberapa tahun terakhir.
BPBD menyebut frekuensi kejadian tanah longsor di provinsi ini mengalami tren meningkat selama lima tahun terakhir periode 2018-2022.
Berdasarkan data BPBD DIY, bencana tanah longsor di daerah ini tercatat 147 kali kejadian selama 2018, kemudian meningkat menjadi 506 kejadian pada 2019, 475 kejadian pada 2020, 351 kejadian pada 2021, dan melonjak 707 kejadian pada 2022.
Sehingga secara akumulatif, dalam kurun 2018-2022, bencana longsor telah terjadi sebanyak 2.186 kali di DIY dengan jumlah kejadian terbanyak di Kabupaten Kulonprogo yang mencapai 1.068, diikuti Bantul 488, Gunungkidul 389, Sleman 149, dan Kota Jogja 116 kejadian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Bawaslu Bakal Terapkan Teknologi Pengawasan Pemungutan Suara di Pilkada 2024
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Gunungkidul City Run & Walk 2024: Olahraga, Pariwisata, dan Kebanggaan Daerah
- Resmi Diluncurkan, 2 Bus Listrik Baru Trans Jogja Bertahan hingga 300 Km Sekali Isi Daya
- Kemiskinan Sleman Turun Tipis, BPS Sebut Daya Beli dan Inflasi Jadi Biang
- Relawan Posko Rakyat 45 Kerahkan Dukungan ke Pasangan Afnan-Singgih
- Hiswana Migas DIY Dorong Pemilik 4 SPBU yang Ditutup agar Lakukan KSO untuk Kelancaran Distribusi BBM
Advertisement
Advertisement