Advertisement

Kisah Bon Ali, Pak Polisi yang Tak Punya Rumah Pribadi Tapi Menyekolahkan Anak-Anak Yatim

Sirojul Khafid
Selasa, 13 Juni 2023 - 22:37 WIB
Maya Herawati
Kisah Bon Ali, Pak Polisi yang Tak Punya Rumah Pribadi Tapi Menyekolahkan Anak-Anak Yatim Bon Ali bersama dengan anak binaannya di Kotagede, Jogja, beberapa waktu lalu. - Ist/Bon Ali

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Mencintai negara dan menjadi polisi yang bermanfaat dalam setiap langkah menjadi pesan yang selalu diingat Ipda Nur Ali Suwandi, anggota Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda DIY. Pesan dari gurunya itu yang membawanya memiliki ribuan masyarakat binaan di DIY.

Sapaannya Bon Ali. Nama yang dia dapat sejak menjadi santri di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur. Di pesantren yang dia tinggali sejak usia setingkat SD kelas 1 itu, banyak nama Ali. Perlu ada pembeda Ali satu dengan lainnya. Bon berasal dari istilah orang yang utang di warung.

Advertisement

Dan ya, Nur Ali Suwandi kecil memang sering berutang di warung, dia sering tidak punya uang. Kondisi ekonomi keluarga kurang bagus. Tersematlah sapaan Bon Ali bahkan sampai sekarang, saat umurnya sudah 45 tahun.

Berada dalam bimbingan KH. Moch. Djamaludin Ahmad sebagai pengasuh pesantren, Bon Ali mengabdi dengan menjualkan produk tempe milik pesantren. Selepas subuh, dia akan berkeliling ke desa-desa untuk menjajakan tempe. Sekitar pukul 06.30 WIB, dia akan kembali ke pesantren dan berangkat sekolah.

Kebiasaan itu berlangsung sampai sekitar usia SMA. Di salah satu hari, ada kunjungan dari salah satu Kapolda ke pesantren Bon Ali. “Ada sambutan dari Kapolda, yang bilang kalau santri Tambakberas yang berminat jadi polisi silakan, yang penting sehat dan segala macam,” kata Bon Ali, saat ditemui di Yayasan Rumah Singgah Bumi Damai di Kotagede, Jogja, Senin (12/6/2023).

Mungkin itu kunjungan Kapolda yang biasa saja. Namun justru inilah titik balik kehidupan Bon Ali. “Malamnya denger sambutan dari Kapolda itu, paginya sowan ke pak kiai, minta izin dan restu menjadi polisi,” katanya.

Tidak hanya izin dan restu yang Bon Ali dapatkan, KH. Djamaludin juga memberikan pesan. Apabila berhasil menjadi polisi, perlu menanamkan hubbul wathon minal iman atau mencintai bangsa sebagai bagian dari iman. Pesan selanjutnya, kyai meminta Bon Ali menjadi polisi yang setiap langkahnya memberikan manfaat.

Seleksi masuk pendidikan Polri bisa Bon Ali lalui. Dia mulai bertugas menjadi polisi di Polda DIY sejak 1999. Kelancaran langkah yang dia yakini betul berkat berkah guru. Sehingga pesan yang dia terima sebelumnya juga terus Bon Ali simpan dengan rapi di hati dan pikirannya.

Pengamalan pesan kyai yang membuat Bon Ali berkesempatan membangun Yayasan Yatim Piatu Rumah Singgah Bumi Damai dengan 190 anak asuh, mambangun yayasan pondok pesantren, membina 1.000 jompo, membina 600 pemulung, membangun 14 masjid, merenovasi gereja dan vihara, membangun 16 saluran mata air, membangun dua sekolah setingkat taman kanak-kanak, sampai membangun tiga jembatan.

Menyicil Utang

Suara azan isya bersanding dengan gemericik air dari kran. Anak-anak yang tinggal di Rumah Singgah Bumi Damai bersiap untuk salat isya berjamaah. Ada yang mengantre wudhu, ada juga yang berlarian, saling berkejaran. “Gek ndang (cepetan) wudhu terus salat,” kata anak yang lebih senior kepada yang lebih muda.

Suasana berubah hening ketika Salat Isya berjamaah berlangsung. Muncul satu dua anak yang dengan tergesa mengambil wudhu dan menyusul salat. Selepas salat, anak-anak mengaji di aula. Tidak lama berselang, Bon Ali datang ke area rumah singgah. Pria yang perutnya mulai sedikit buncit itu hendak menemui tamu yang malam itu berkunjung. Dia mengenakan sarung, kaos hitam, serta peci.

Sedari awal bertemu dengan tamu malam itu, senyum jarang hilang dari wajah Bon Ali. Dia fokus saat mengobrol dan sesekali tertawa. Sejak lulus pendidikan polisi, Bon Ali bertugas di Polda DIY sebagai personil pelayanan masyarakat.

Tiga tahun dia bertugas di penjagaan depan Polda DIY. Setelah itu menjadi Propram selama 16 tahun. Kini dia mengemban amanat di Satuan PJR, Ditlantas Polda DIY dengan pangkat Ipda.

Sejak menjadi polisi, di sela-sela tugas kantor, Bon Ali menyempatkan diri ke desa-desa, mencari orang yang sekiranya kurang beruntung.

“Tidak menunggu orang datang dan minta bantuan, tapi mencari orang yang kurang beruntung, atau masyarakat yang sedang membutuhkan sesuatu. Saya sendiri tidak bisa membantu masyarakat sepenuhnya, kapasitas bukan orang besar, jadi bantu semampu saya,” kata Bon Ali.

Pencarian orang yang membutuhkan bantuan ini berlangsung di banyak titik di seluruh wilayah DIY. Pencarian yang banyak mempertemukan Bon Ali dengan anak yatim piatu atau berkekurangan secara ekonomi. Awalnya pembinaan dengan menyantuni.

Namun sejak 2008, Bon Ali membangun rumah sederhana dari wakaf tanah mertua, sebagai tempat bernaung anak-anak. Dia menyediakan tempat tinggal dan juga memberikan fasilitas mengaji dan sekolah.

Awalnya hanya empat anak. Semakin berkembang, saat ini sudah ada 190-an anak asuh di Rumah Singgah Bumi Damai. Mereka berasal dari banyak latar belakang, dari yatim, piatu, yatim piatu, fakir miskin, anak yang bermasalah dengan hukum, anak yang tidak disukai orang tuanya, anak pengemis, sampai anak dari terpidana kasus terorisme.

Ada 15 anak yang orang tuanya di penjara dalam kasus terorisme. “Mereka masih kecil-kecil, orang tuanya di tahanan, anak-anak kan korban juga. Dulu saya diperbantukan di bagian pembinaan, [saya merasa terpanggil untuk] merawat mereka seperti yang lain, diberikan fasilitas dan bekal ilmu, sekolahin, ngaji,” kata laki-laki asal Kediri tersebut.

Dalam membina anak-anak di rumah singgah, Bon Ali berusaha membuat mereka nyaman dan senang. Setelah itu memberikan pemahaman apabila semua saudara dan keluarga. Seiring berjalan juga ada pemberian ilmu tentang akhlak, sopan santun, berbudi, sampai rukun antar sesama.

Dengan segala kemampuan dan keterbatasannya, Bon Ali berusaha membersamai anak-anak dari kecil sampai bisa hidup secara mandiri. Setidaknya anak punya bekal mencari makan sendiri. Syukur-syukur bekal yang dia dapat bisa membantu keluarga dan tetangga. Kembali ke pesan kyai-nya dulu di Tambakberas, dalam setiap langkah perlu bermanfaat kepada sesama.

BACA JUGA: Musim Pancaroba, Dinkes DIY: Waspada Influenza dan Diare

Manfaat kepada sesama juga Bon Ali lakukan dengan menyantuni dan membina sekitar 1.000 jompo. Kehadirannya sembari membawa bantuan sembako berupa bahan-bahan pokok. Mungkin sembako itu bisa habis dalam hitungan hari, namun dia ingin apabila para jompo masih bisa berkomunikasi, merasa dihargai, dan paling penting bisa tersenyum lagi. Tidak semua jompo masih mendapat kunjungan dari keluarga atau tetangga.

“Kami datang karena simbah hidup sendiri, kalau kita datang dia agak lega, ada senyumnya. Senyumnya simbah rezeki saya,” katanya.

Melunasi Utang

Obrolan Bon Ali dengan tamunya malam itu seringkali terjeda. Entah ada warga yang menyapa dan bersalaman, atau salah satu anak umur sekitar lima tahun yang meminta uang. Untuk teman berbincang, Bon Ali memesan dua gelas jahe di angkringan sebelah. Sembari menunggu jahe tidak terlalu panas, dia mengajak tamu untuk melihat gedung baru Rumah Singgah Bumi Damai yang baru selesai dibangun.

Rumah singgah punya delapan gedung. Tiga milik pribadi dan sisanya masih mengontrak. Gedung baru ini merupakan bangunan dua lantai. Semua kamar memiliki fasilitas AC dengan kasur yang juga layak.

Membangun fasilitas untuk kebutuhan masyarakat sepertinya cukup akrab dengan kehidupan Bon Ali. Di samping rumah singgah di Kotagede dan pondok pesantren di Prambanan, dia sudah membangun 16 saluran air di pelosok pedesaan. Terbanyak ada di wilayah Gunungkidul. Kawasan itu memang seringkali mengalami kekeringan, terutama apabila memasuki musim kemarau.

“Kami kumpulkan masyarakat dan mendengar keluhannya apa, ternyata susah nyari air saat kemarau, cari solusi. Di pedalaman secara ekonomi kurang baik, masyarakat cari lokasi, kita keduk bersama, kami carikan mesin sampai toren. Sekarang sudah ada 16 titik sumber air, satu titik bisa untuk [mengaliri air] 150-200 jiwa,” kata Bon Ali.

Dibanding membuat program dari inisiasinya, Bon Ali lebih mendahulukan kebutuhan masyarakat di lapangan. Dari situ semua berkolaborasi dan gotong royong. Bon Ali membantu dari sisi dana dan koordinasi, masyarakat yang mengerjakan dan menjalankan. Pola yang sama yang membuat Bon Ali juga membangun 14 masjid, merenovasi dua gereja dan satu vihara, membangun dua sekolah setingkat taman kanak-kanak, dan membangun tiga jembatan.

Dalam pembangunan beberapa saluran air dan jembatan, Bon Ali mendapatkan bantuan dari Dirlantas Polda DIY, yang saat ini menjadi atasannya. Kolaborasi sesama polisi, serta polisi dan masyarakat, membuat program kemanusiaan seperti ini bisa berjalan lebih cepat, dan berkembang lebih luas.

Meski sudah cukup banyak yang Bon Ali kerjakan, saat ini ada satu program yang sedang dia usahakan berupa membangun rumah sakit di Gedangsari, Gunungkidul. Ini berasal dari kebutuhan warga yang jauh apabila hendak berobat ke rumah sakit, jaraknya bisa 20 kilometer untuk ke rumah sakit terdekat. Program yang butuh dana besar dan sistem yang tepat. Untungnya untuk tanah, sudah ada yang mewakafkan dengan luas 1.000 meter persegi.

Meski bukan orang yang kaya raya, Bon Ali berusaha mencari cara agar segala bantuan yang masyarakat perlukan bisa berjalan. Di samping menyisihkan gaji, dia juga mencari tambahan dengan menjual batik dan usaha lainnya. Rasa lelah atau jenuh dengan segala kegiatan ini tentu Bon Ali sesekali rasakan.

Dia manusia biasa, bukan robot apalagi malaikat. Tapi lagi, lagi, Bon Ali akan mengingat ini sebagai bentuk pengamalan pesan gurunya, untuk menjadi polisi yang bermanfaat dalam setiap langkahnya. Selalu ada jalan untuk berbuat baik.

Termasuk selalu ada jalan untuk memberikan rumah yang layak untuk para anak yatim piatu di yayasannya. Pernah merasakan kondisi hidup yang kurang baik di masa kecil, membuat Bon Ali ingin membantu anak-anak yang senasib dengannya dulu. Predikat ‘bon’ yang tersemat sampai saat ini yang seakan menjadi pengingat apabila dia berasal dari masyarakat biasa dan sering berhutang.

“Dulu saking enggak punyanya uang, sering bon di warung, dan enggak pernah bayar,” kata Bon Ali, sembari tersenyum.

“Belum bayar sampai sekarang pak?” tanya si tamu.

“Hehe,” Bon Ali hanya tertawa lebar.

Mungkin Bon Ali belum membayar semua utangnya saat di pesantren, namun yang dia berikan pada masyarakat rasa-rasanya sudah lebih dari cukup untuk melunasinya. Seperti slogan di rumah singgahnya, ‘Ikhlas Tanpa Batas, Ikhlas Tanpa Balas’.

Pengabdian tanpa batas dan balas ini juga dengan memberikan tempat tinggal yang layak untuk anak yatim piatu. “Pengen memuliakan anak yatim piatu, dengan membangunkan ‘istana’ untuk mereka. Meski kadang istri juga sering cemberut, rumah pribadi saja belum punya, udah bikin rumah untuk orang lain,” kata Bon Ali.

“Sampai sekarang saya masih tinggal di rumah mertua. Saya pengin anak-anak [yatim piatu] tempat tinggalnya lebih bagus dari yang saya tempati.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Rekrutmen Pendamping Desa, Mendes PDT: Tak Boleh Terlibat Parpol

News
| Jum'at, 25 April 2025, 22:47 WIB

Advertisement

alt

Hidup dalam Dunia Kartun Ala Ibarbo Fun Town

Wisata
| Sabtu, 12 April 2025, 10:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement