Bupati Sunaryanta Wacanakan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Brandu

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Bupati Gunungkidul Sunaryanta mewacanakan memberikan sanksi pidana pada warga yang masih melanggengkan tradisi brandu. Brandu yang sudah mengakar bagi warga di Bumi Handayani itu diklaim sebagai salah satu penyebab penyebaran penyakit antraks.
Pemkab Gunungkidul kemudian berencana membuat peraturan daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Antraks sebagai antisipasi persebaran antraks. Perda itu salah satunya akan memberikan sanksi kepada warga yang masih menerapkan brandu.
Advertisement
Sunaryanta menjelaskan penanggulangan antraks juga harus memperhatikan pencegahan supaya ke depan tidak ditemukan lagi kasus antraks di masyarakat. Dia mengatakan tim hukum Pemkab Gunungkidul sedang mengkaji Raperda tentang Pencegahan dan penanggulangan Antraks.
BACA JUGA : Sampel Darah 141 Warga Gunungkidul Suspek Antraks Diuji di Balai
Di dalam rancangan itu ada beberapa poin penting yang jadi penekanan. Selain tentang Upaya pemberian kompensasi terhadap ternak warga yang mati, raperda juga menyebutkan sanksi pidana bagi pelaku brandu. Sanksi ini dimunculkan karena kasus antraks terjadi tak lepas dari praktik brandy di masyarakat.
“Anehnya sudah mati masih dikonsumsi. Jadi, harus ada upaya memberikan efek jera. Mungkin sanksinya bisa masuk ke tindak pindana ringan,” katanya.
“Anehnya sudah mati masih dikonsumsi. Jadi, harus ada upaya memberikan efek jera. Mungkin sanksinya bisa masuk ke tindak pindana ringan,” katanya Senin (10/7/2023).
Meski demikian, Sunaryanta menegaskan sanksi hukum ini masih sebatas wacana dan butuh kajian yang mendalam dengan tim hukum. “Kalau saya ide ini [sanksi pidana] bagus karena untuk menyelamatkan masyarakat sendiri. Sebab, dengan sanksi tegas maka tidak ada lagi praktik brandu di masyarakat yang menjadi biang persebaran antraks di Gunungkidul,” kata dia.
Purnawirawan TNI AD ini juga mengklaim kasus antraks makin terkendali. Langkah pencegahan terus dilakukan agar persebaran kasus bisa ditekan. Dia mengatakan persebaran terlihat dari aktivitas masyarakat di lokasi kasus yang sudah kembali normal. Selain itu, ternak warga juga telah dilokalisasi sehingga potensi persebaran ke luar daerah bisa dikurangi. “Mudah-mudahan kasus ini menjadi yang terakhir di Gunungkidul,” kata Sunaryanta.
Tak Setuju
Solusi Bupati Gunungkidul untuk memberantas antraks dengan memberikan hukuman bagi pelaku brandu dinilai terlalu militeristik. Kepemimpinan militeristik dengan solusi sanksi tidak akan menyelesaikan masalah.
BACA JUGA : Bupati Belum Tetapkan Gunungkidul KLB Antraks
Dosen Departemen Sosiologi UGM AB. Widyanta menegaskan tradisi brandu memang harus diakhiri, tetapi bukan dengan ancaman sanksi. “Ada akar masalah yang tidak tertangani jika cara menyelesaikan masalahnya hanya dengan sanksi, solusi sanksi hanya akan memindahkan masalah satu ke tempat lain, hanya berpindah-pindah,” ujar dia, Senin (10/7/2023).
Widyanta menjelaskan tradisi brandu yang masih eksis berarti tidak ada sosialisasi yang sifatnya mentransfer pengetahuan dan nilai. “Sosialisasi yang dilakukan itu perlu dipertanyakan, Pemkab Gunungkidul perlu introspeksi. Apakah sosialisasinya benar-benar tepat sasaran, saya kira hanya hit and run yang penting dilakukan tanpa memastikan adanya transfer nilai,” jelasnya.
Dosen kelahiran Paliyan, Gunungkidul ini menyebut sosialisasi yang tepat sasaran dapat membawa nilai baru dalam masyarakat untuk menghentikan tradisi lama yang menyebabkan masalah. Menurutnya pengetahuan saja tidak cukup, karena harus menumbuh yang artinya membawa nilai yang dapat diterapkan dan diyakini masyarakat.
“Sehingga kalau memang sosialisasinya sudah tepat sasaran sudah tidak ada brandu lagi,” katanya.
Selain sosialisasi, Widyanta yang tumbuh di pedesaan Gunungkidul ini menilai Pemkab perlu memiliki skema penanganan ternak yang mati secara adil dan berempati dengan jaring pengaman sosial. “Saya tahu biaya memelihara sapi di Gunungkidul itu tinggi, apalagi kalau kemarau para peternak itu beli pakan harganya untuk satu ekor sapi bisa Rp20 ribu perhari. Sapi ini bagi masyarakat Gunungkidul investasi mereka,” katanya.
BACA JUGA : Antraks Mewabah di Gunungkidul, Begini Antisipasi Kulonprogo
Skema penanganan hewan ternak yang berempati dan adil, jelas Widyanta, akan mengakhiri tradisi brandu. “Saya contohkan, peternak yang sapinya mati bisa diberikan pedet [anak sapi] jika diberikan ini membebani anggaran ada solusinya yaitu digaduhke [dipinjamkan], jelas skemanya bisa sangat banyak dan beragam,” ujarnya.
Kekurangan anggaran, lanjut Widyanta, bukan alasan Pemkab Gunungkidul yang dapat diterima. “Banyak orang Gunungkidul itu pintar, yang merantau banyak yang berhasil. Mereka juga bisa ditarik CSR, masalahnya Pemkab ini pendekatan kebijakannya militeristik-teknokratis sekali,” ucapnya.
Pendekatan kebijakan yang militeristik, menurut Widyanta, sudah tidak dapat diterima di masyarakat yang demokratis. “Masalah antraks ini masalah bersama, coba gali aspirasi dari bawah juga, jangan selamanya top down,” tuturnya.
Masalah antraks perlu ditangani secara holistik untuk menemukan akar masalahnya, lanjut Widyanta, sehingga Pemkab Gunungkidul perlu mendengar dari berbagai pihak. “Coba Pemkab ini mengkaji secara holistik banyak akademisi di Gunungkidul yang bisa membantu, asal bisa mendengarkan juga. Jangan dikit-dikit menghukum, itu gaya yang milteritik sekali,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Menparekraf Pastikan Indonesia Siap Gelar Seri MotoGP 2023 di Mandalika
Advertisement

Garrya Bianti, Resort Eksklusif Baru di Jogja yang Cocok untuk Healing Anda
Advertisement
Berita Populer
- Daftar Jalur Trans Jogja Melewati Kampus hingga Rumah Sakit
- Top 7 News Harianjogja.com Rabu 4 Oktober 2023
- Produk Oleh-Oleh Diuji Laboratorium untuk Jamin Pangan Pariwisata Sehat
- Pagi Ini Jalanan Kota Padat Merayap, Anak Sekolah Ikut Karnaval Budaya Rayakan HUT Jogja
- Jadwal Terbaru! Lokasi SIM Keliling Bulan Oktober 2023 di Kota Jogja
Advertisement
Advertisement