Advertisement

Sejarah Kotagede hingga Kini Jadi Sentra Perak di Jogja

Yesaya Wisnu & Mediani D. Natalia
Senin, 05 Februari 2024 - 22:07 WIB
Mediani Dyah Natalia
Sejarah Kotagede hingga Kini Jadi Sentra Perak di Jogja Masjid Kotagede. - Harian Jogja

Advertisement

Harianjgja.com, JOGJA—Kotagede merupakan kota kuno bekas ibukota Kerajaan Mataram Islam yang terletak di Jogja. Dalam perkembangannya, Kotagede tidak hanya dikenal sebagai cikal bakal Kraton Jogja tetapi juga sebagai sentra perak. Bagaimana sejarahnya?

Dikutip dari laman Kemantren Kotagede, Kotagede adalah sebuah kota lama yang berdiri pada 1532 M dan terletak di Jogja bagian selatan yang secara adminisratif terletak di Kota Jogja dan Kabupaten Bantul. Kotagede merupakan daerah budaya dengan banyak peninggalan sejarah yang terlihat dari arsitektur bangunan maupun kehidupan sosial budaya.

Advertisement

Sebagai bekas ibukota kerajaan Mataram Islam pada pemerintahan Panembahan Senapati, Kotagede menyisakan peninggalan arkeologis yang jauh lebih bermakna. Selain itu, ia tetap eksis sebagai kota lama yang berahan dengan dinamikanya hingga saat ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa Kotagede masa lalu merupakan kota pusat kegiatan-kegiatan politik, ekonomi, dan sosial budaya.

Meski demikian, sejarah perak justru dimulai dari suku Kalang atau yang dikenal sebagai wong kalang. Mereka adalah sekelompok orang yang hidup berkelompok serta nomaden. Mereka diperkirakan sudah mendiami pulau Jawa pada zaman megalitikum atau sebelum masuknya agama Hindu dan Buddha. Berkat Wong Kalang inilah, Kotagede Jogja kini dikenal sebagai sentra kerajinan perak.

Dilansir dari Solopos.com, dari kanal Youtube Hayuningyokta, Kamis (11/11/2021), penamaan Kalang sebenarnya berasal dari bahasa Kawi atau Bahasa Jawa kuno yang berbunyi ‘kepalang’ yang artinya terpisah atau terhalang. Mereka memisahkan diri dari masyarakat umum semenjak adanya migrasi besar-besaran ras Austronesia ke nusantara yang melahirkan suku-suku moderat saat ini, salah satunya adalah suku Jawa.

Baca Juga

Menilik Between Two Gates di Kampung Alun-alun, Purbayan, Kotagede

Kotagede Mencari Bakat, Suguhkan Seni Budaya dan Produk UMKM

Mengenal Legomoro, Kuliner Wajib saat Hajatan di Kotagede Jogja

Saat masa kerajaan Hindu-Buddha runtuh pada abad ke-15 atau tepatnya tahun 1478, komunitas wong kalang yang sebelumnya menagsingkan diri pada masa Kerajaan Majapahit karena berbenturan dengan sistem kasta yang berlaku saat itu, mulai membaur dengan menyebar ke beberapa daerah, salah satunya di Yogyakarta yang saat itu dikuasai oleh Kerajaan Mataram Islam.

Komunitas wong kalang masuk ke bumi Mataram pada abad ke-17 yang kala itu berada dibawah kepemimpinan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Kedatangan mereka sempat ditolak oleh pengawal Bumi Mataram. Namun saat kedatangan wong kalang ini terdengar oleh Sultan Agung, akhirnya mereka diizinkan masuk ke bumi Mataram dan ditempatkan di hutan yang dikenal dengan sebutan alas mentaok yang sekarang dikenal dengan nama kawasan Kota Gede.

Permukiman Modern

Karakter wong kalang yang giat bekerja akhirnya mengubah kawasan alas mentaok tersebut menjadi permukiman modern yang saat ini dikenal dengan nama Kotagede. Saat itu, wong kalang dikenal ahli dalam kerajinan ukir kayu, emas, berlian dan perak. Banyak jasa-jasa ukir yang diinisiatif oleh wong kalang di kawasan tersebut akhirnya banyak dibuka lapangan kerja bagi masyarakat umum dan membantu perekonomian bumi Mataram, khususnya di Kotagede.

Pada awal abad ke-20, bidang pekerjaan wong kalang berkembang pesat, dari seni ukir merambah ke pegadaian. Hal ini membuat komunitas wong kalang terlihat menonjol dari segi perekonomian dibanding masyarakat umum. Banyak saudagar-saudagar kaya dari komunitas wong kalang yang muncul saat itu bahkan mereka membangun rumah-rumah yang mewah, memadukan kultur budaya Tionghoa, Jawa dan Belanda.

Oleh sebab itu, jika berkunjung ke Jogja dan menelusuri Jalan Tegal Gendhu, Kecamatan Kotagede, banyak ditemukan rumah-rumah mewah berjejeran dalam satu komplek jalan tersebut. Rumah-rumah itu dulunya dibangun oleh para saudagar kaya dari komunitas wong kalang. Saat kali pertama menginjakkan kaki di Kotagede, wong kalang dikenal memiliki interaksi yang baik dengan masyarakat umum.

Wong kalang banyak memberikan pelatihan-pelatihan bidang keahlihan, seperti bidang ukir hingga mengajari masyarakat umum tentang cara berdagang. Namun, karena watak wong kalang yang buruk, yaitu pemberian upah yang minim kepada pegawai, jarang bersedekah hingga menolak membayar pajak kepada pemerintah kolonial mengakibatkan konflik antara masyarakat Jawa, pemerintah Hindia Belanda dengan komunitas wong kalang.

Ditambah banyak rumor yang disebar terkait dengan wong kalang, dari anggapan sebagai keturunan binatang anjing dan kera karena memiliki ekor di bagian tulang ekornya hingga isu-isu rasial lainnya. Saat itu pemerintah Hindia Belanda dan masyarakat Jawa berbondong-bondong merampok dan merampas harta benda milik wong kalang. Bahkan banyak dari wong kalang yang dianiyaya hingga dibunuh.

Namun dari pembantaian itu tidak lantas menghilangkan keberadaan wong kalang. Sebab sejak menyebar ke berbagai daerah, salah satunya di Yogyakarta, wong kalang sudah membaur dengan masyarakat umum. Bahkan, sistem indogami yang dianut wong kalang, yaitu menikah dengan satu golongan juga ditinggalkan dan banyak dari wong kalang yang menikah dengan warga non kalang sehingga keberadaan mereka masih ada.

Salah satu tokoh wong kalang yang masih ada sekarang adalah Pak Te. Beliau lahir di Kotagede, Jogja dan dikenal sebagai saudagar kaya. Pak Te menceritakan wong kalang adalah golongan saudagar yang dulunya tinggal di hutan secara nomaden sehingga karakter liarnya masih ketara. Karena tinggal di hutan, wong kalang masih peduli dengan keadaan lingkungan sekitar serta satwa liar, seperti babi dan anjing

Selain rumah-rumah mewah dengan arsitektur dari tiga budaya, peninggalan wong kalang di Jogja, khususnya kawasan Kotagede adalah dengan dikenalnya kawasan tersebut sebagai sentra perdagangan dan juga kerajinan ukir yang selalu menarik para wisatawan, baik domestik dan internasional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Solopos.com

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Pemeriksaan Pendahuluan Sengketa Pileg, PAN: Ada Pengurangan Suara di Aceh

News
| Selasa, 30 April 2024, 11:57 WIB

Advertisement

alt

Komitmen Bersama Menjaga dan Merawat Warisan Budaya Dunia

Wisata
| Kamis, 25 April 2024, 22:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement