Advertisement
ARTJOG Ditutup Dengan Doa Bersama, Farid Stevy Dan Prontaxan

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—ARTJOG 2025 Motif: Ramalan resmi ditutup pada Minggu (31/8/2025). Diselenggarakan di tengah suasana duka dan ketidakstabilan kondisi politik nasional, event ‘lebaran seni’ Jogja ini ditutup dengan doa bersama, sajak-sajak dari Farid Stevy hingga musik dari unit elektronik Prontaxan.
Penutupan itu diawali dengan sambutan Direktur ARTJOG, Heri Pemad. Mengenakan pakaian hitam-hitam dan layar latar belakang hitam bergambarkan bunga mawar yang layu, Heri Pemad menyampaikan empati kepada para korban kekerasan dalam aksi-aksi nasional sepanjang akhir Agustus ini.
Advertisement
“Melihat situasi negara kita yang sedang berduka, sebagai bentuk rasa empati kami kepada kawan-kawan yang masih berjuang menyuarakan keadilan dan kebaikan untuk bangsa ini. Maka, acara malam penutupan ARTJOG 2025 ini mengemasnya menjadi malam kebersamaan, kepedulian, keprihatinan yang mendalam. Malam duka sekaligus doa bersama kebaikan negri ini,” katanya.
BACA JUGA: Kulonprogo Targetkan Tambah 10 Emas di Porda
Lalu ia mengundang kurator, penampil dan sejumlah seniman peserta ARTJOG maju ke depan dan berdoa bersama. Mereka mengenakan pakaian serba hitam semua, doa dipimpin oleh Faisal Kamandobat setelah pembacaan catatan tim kurator oleh Hendro Wiyanto.
Hendro menyampaikan trilogi pameran ARTJOG secara berturut-turut mengedepankan judul "Motif". Motif adalah problem kritis di dalam semesta penciptaan dan pembacaan karya: kelebat pikiran, imajinasi, ketidaksadaran, hasrat, kehendak, tujuan maupun intensi yang sesadar-sadarnya.
Motif berada pada ambang, jauh maupun dekat, semua praktik artistik, mendorong tindakan dan peristiwa yang kita sebut estetik. Dunia visual kita adalah semesta motif yang tidak terbayang besarnya. Motif apa yang membentuknya? Apa motif seniman menciptakan karya? Apa motif menjadi seniman?
“Pada akhir trilogi motif ARTJOG yang ditutup malam ini, kita bisa mengajukan pertanyaan sangat penting: apa motif kita bersepakat menjadi satu bangsa? Apa tujuan bernegara merdeka yang kita proklamasikan dulu? Apa motif menjadi pemimpin?” katanya.
Kehidupan bernegara dan bermasyarakat kini menunjukkan makin jauhnya kita dari adab sebagai bangsa. Para pemimpin kita kehilangan nilai-nilai keutamaan dan keteladanan. Sejarah seni rupa kita telah menunjukkan transformasi cara-cara kita berpolitik, dari paradigma kerakyatan menjadi kewarganegaraan republik, dari otoritarianisme ke pseudo-demokrasi.
Motif amalan pada ARTJOG tahun ini membayangi kebobrokan cara kita mengamalkan politik: kemerdekaan tidak menjadi tanggung jawab, tapi hanya mewujud sebagai motif-motif kekuasaan. “Motif kekuasaan itulah yang tidak henti menciderai rakyat, mengabaikan hak-hak warga, menguasai sumber-sumber kehidupan dan menguras semua kekayaan alam dan bumi kita,” ungkapnya.
Khusus untuk acara ini Farid Stevy membawakan lagu FSTVLST, Hal-Hal Ini Terjadi, dengan sedikit modifikasi pada sajak-sajak liriknya, merespon kondisi yang terjadi saat ini. Salah satunya yakni ‘Di masa kau terlahir, manusia di negara ini hanya dianggap sebagai angka-angka dingin statistik. Jiwa dan nyawa tidak bermakna, tubuh-tubuh, keringat dan darahnya taka da nilainya.’
Kemudian Prontaxan membawakan beberapa lagu Musisi lain yang diaransemen dengan musik koplo-elektronik, seperti Mati Muda dari Jenny, Sambutlah dari The Jeblogs, Mosi Tidak Percaya dari Efek Rumah Kaca, Another Brick In The Wall dari Pink Floyd dan lainnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Kebakaran Hutan dan Lahan Terjadi di Sragen, Klaten, dan Aceh
Advertisement

Kebun Bunga Lor JEC Jadi Destinasi Wisata Baru di Banguntapan Bantul
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement