Advertisement

Sultan Keluarkan Instruksi Cegah Intoleransi, Regulasi Diskriminatif Harus Ditertibkan

Abdul Hamied Razak
Jum'at, 05 April 2019 - 19:17 WIB
Budi Cahyana
Sultan Keluarkan Instruksi Cegah Intoleransi, Regulasi Diskriminatif Harus Ditertibkan Sekda DIY Gatot Saptadi (kiri) saat menunjukkan Instruksi Gubernur DIY No.1/2019 tentang Pencegahan Potensi Konflik Sosial di Kepatihan, Jumat (5/4/2019). - Harian Jogja/Abdul Hamid Razak

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Munculnya kasus-kasus intoleransi di masyarakat memaksa Gubernur DIY Sri Sultan HB X mengeluarkan Instruksi Gubernur No.1/INSTR/2019 tentang Pencegahan Potensi Konflik Sosial. Instruksi tersebut ditujukan kepada bupati dan wali kota se-DIY.

Sekda DIY Gatot Saptadi mengatakan Pemda DIY menyayangkan diskriminasi yang terjadi di Dusun Karet, Pleret, Bantul beberapa waktu lalu. Kejadian tersebut memang sudah selesai, tetapi menambah deretan persoalan intoleransi di DIY yang dikenal sebagai wilayah toleran. Menurut Gatot, hal itu terjadi akibat penyelenggaraan pemerintahan yang kurang pas di daerah.

Advertisement

Gubernur pun berkewajiban mengeluarkan instruksi untuk mencegah kasus serupa terjadi lagi.

“Ini instruksi [perintah] bukan surat edaran. Instruksi wajib ditaati, beda dengan surat edaran yang cukup diketahui. Ada delapan perintah yang harus dilakukan bupati dan wali kota,” kata dia dalam jumpa pers, Jumat (5/4).

Dari delapan instruksi yang dikeluarkan, kata Gatot, intinya ada tiga hal. Pertama, pencegahan potensi konflik sosial. Bupati dan wali kota harus bisa mencegah persoalan tersebut. Kedua, mengambil langkah yang cepat dan tegas jika terjadi konflik. “Kemarin itu kejadian berlangsung, publik sudah mengetahui, tetapi langkah yang diambil terlambat. Bupati harus menyelesaikan dengan cepat dan tegas sesuai kewenangannya,” ucap dia.

Terakhir, lanjut Gatot, pembinaan dan pengawasan. Regulasi diskriminatif yang beredar di masyarakat harus ditertibkan. Menurut dia, regulasi terendah harusnya dikeluarkan oleh Pemerintah Desa bukan oleh kepala dukuh. “Regulasi terendah itu di level desa yang menjadi ujung tombak untuk mengendalikan masyarakat. Kalau di bawah desa bukan peraturan, bukan keputusan.”

Dia mengakui ada kesepakatan masyarakat yang biasanya disebut kearifan lokal. Namun, kearifan lokal tidak mengikat.

“Jangan sampai kearifan lokal menjadi senjata.  Kearifan lokal harus tetap berpegang pada Pancasila, UUD 1945 dan keutuhan NKRI. Gara-gara nila setitik, Jogja langsung dicap intoleran oleh masyarakat luas. Sekecil apa pun yang terjadi di DIY, dampaknya bisa luas. Sangat disayangkan kalau kami dicap tidak toleran dan tidak kondusif. Ini menjadi pelajaran bagi semua untuk menata hidup bermasyarakat di Jogja,” ucap Gatot.

Diskriminasi dialami Slamet Jumiarto di Dusun Karet, Desa Pleret, Bantul. Sejumlah tokoh masyarakat di dusun itu membuat kesepakatan tertulis sejak 2015. Dalam kesepakatan tersebut, warga nonmuslim dan aliran kepercayaan tidak diizinkan untuk tinggal di dusun tersebut meski hanya sebatas mengontrak. Belakangan, aturan itu dicabut. Masyarakat Dusuk Karet mengaku khilaf dan meminta maaf. Mereka juga menerima Slamet menetap di dusun tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Polisi Temukan 3 Proyektil Peluru di Jasad Wanita Korban Penembakan di Kapus Hulu Kalbar

News
| Sabtu, 20 April 2024, 15:27 WIB

Advertisement

alt

Kota Isfahan Bukan Hanya Pusat Nuklir Iran tetapi juga Situs Warisan Budaya Dunia

Wisata
| Jum'at, 19 April 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement