Advertisement

Mengenal Sholawat Jawi Emprak, Kesenian yang Sempat Punah saat Gestapu

Anisatul Umah
Selasa, 26 April 2022 - 20:07 WIB
Arief Junianto
Mengenal Sholawat Jawi Emprak, Kesenian yang Sempat Punah saat Gestapu Para penari Emprak dalam peringatan malam selikuran. - Harian Jogja/Anisatul Umah

Advertisement

Harianjogja.com, BANTUL--Sholawat Jawi Emprak tampil di malam ke-21 atau selikuran Ramadan di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak, Menguten, Srimulyo, Kecamatan Piyungan, Bantul. Sempat punah saat peristiwa Gerakan 30 September (Gestapu) kini, kesenian Emprak kembali ditampilkan. 

Dua ekor ayam ingkung, tumpengan dari nasi uduk, dan buah pisang raja tertata rapi di depan para penari Sholawat Jawi Emprak. Ini menjadi bagian dari kelengkapan Sholawat Jawi Emprak, di mana masing-masing makanan yang disajikan punya arti mendalam.

Advertisement

BACA JUGA: Siap-Siap, Salat Id di Gumuk Pasir Bakal Direstui Pemerintah Tahun Ini

Alunan musik berasal dari kendang, kempul, gong, dan lainnya mulai ditabuh pada Jumat, (22/4/2022) malam. Para penembang Emprak berkostum Jawa, lengkap dengan blangkon dan jarik membuka dengan selawat pendek Allahumma Shalli Wa Sallim Wa Barik Wasalim. Lalu dijawab Shollu Alaih.

Kemudian tembang Yo Sayyid mulai dilantunkan. Sepenggal liriknya berbunyi Yo sayyid, utusan ingsun. Acekelen dhawuh mami. Sun tan utus sopo-sopo. Amungno Siro Pribadi.  

Setelah tembang dimulai, para penari dalam posisi duduk dan tangan terkatup mulai menggerakkan badannya dengan gemulai. Emprak sendiri berasal dari kata nglemprak yang dalam bahasa Jawa artinya adalah duduk.

Sehingga semua gerakan tari Sholawat Jawi Emprak dilakukan dalam posisi duduk. Semua gerakannya dilakukan dengan tempo pelan. Penari terdiri dari empat orang yang semuanya laki-laki.

BACA JUGA: 1831 Hadeging Praja Bantul Sukses, Disbud Bantul Pilih Puasa Produksi Tahun Ini

Kadi, 73, pendiri Solawatan Emprak Pondok Pesantrean Budaya Kaliopak, bercerita Yo Sayyid yang menjadi tembang pertama dari Sholawat Jawi Emprak menceritakan malaikat menemui nabi atas utusan Allah.

Kemudian tembang kedua berjudul Asung Salam. Asung, kata mbah Kadi, bisa diartikan memberi dan meminta. Selanjutnya adalah tembang Montro-Montro.

"Habis Montro-Montro minta kekuatan kepada Gusti Allah, yang memiliki sifat rahman agar diberi kekuatan," kata dia kepada Harianjogja.com, Sabtu (23/4/2022) dini hari.

Alon-Alon menjadi tembang penutup dari Sholawat Jawi Emprak. Sebagian liriknya berbunyi Alon-alon lumakumu ndak kesandung. Yen kesandung, yen kesandung. Badan alus mandhek mayong. Gusti Allah nyuwun ngapuro.

Arti dari tembang Alon-Alon menurutnya adalah mengajak agar dalam menjalankan pekerjaan dan kewajiban lainnya dilakukan dengan pelan-pelan, agar tidak tersandung.

Persiapan sebelum digelarnya Sholawat Jawi Emprak./Harian Jogja-Anisatul Umah

Menurut mbah Kadi, Sholawat Emprak sudah ada sejak zaman Sultan Agung. Namun dulu masih dalam bahasa Arab dan diberi nama Sholawat Maulid, dilantunkan saat sekatenan.

"Intinya Emprak ini sejarah Islam dan kelahiran nabi [Muhammad SAW] atau Maulid Nabi," ucapnya 

Kata mbah Kadi pada tahun 1926 teks Emprak bahasa Arab ini dijawakan dalam bentuk pegon. Kemudian untuk memudahkan dibuat dengan bahasa latin oleh Pondok Kaliopak sekitar 2011.

"Pada 2011 dilatinkan di Kaliopak. Awalnya masih Arab. Bikin gampang, biar bisa belajar," tuturnya.

Gestapu 1965

Mbah Kadi mengatakan Sholawat Jawi Emprak sempat punah saat Gerakan 30 September (Gestapu) tahun 1965. Kemudian muncul lagi pada tahun 2011 di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak ini.

"Kalau gak dumulai lagi, sudah hilang. Mungkin dulu dikait-kaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dulu gak tahu kok," kenangnya.

Saat ini anggota Emprak di Kaliopak sekitar 30-an orang. Dulu penari Emprak yang klasik ini tidak hanya laki-laki saja, namun ada perempuannya juga. Emprak sendiri bisa dipentaskan saat ada kelahiran, pernikahan, untuk memberikan hiburan.  

Lebih lanjut mbah Kadi menceritakan arti dari masing-masing makanan yang disajikan dalam Sholawat Jawi Emprak. Nasi uduk berasal dari kata whudu, yang bisa dimaknai sebagai reresik.

"Sekul [nasi] uduk termasuk ajaran Wali Sanga, untuk dakwah harus suci oleh karena itu berwudu," paparnya.

BACA JUGA: Jalur Cinomati Bantul Tak Boleh Dilewati Sopir yang Hanya Andalkan Google Maps

Ingkung dibuat dari ayam yang diikat dalam posisi tlikung, di dalam salat dalam posisi rukuk menjelang sujud. Ayam ingkung ini menujukkan binatang yang memiliki hawa nasfsu, diikat tlikung untuk minta maaf dan bertobat.

"Pisang itu pisang raja. Tukon pasar wujud barang-barang woh-wohan [buah-buahan] pemberian Tuhan. Orang Jawa semua dilambangkan," ujarnya.

Di malam selikuran tersebut, tidak hanya penari Emprak beranggotakan orang tua yang tampil, tetapi santri di Pondok Kaliopak turut serta. Selain laki-laki penari emprak dari santri juga terdiri dari perempuan.

Dengan waktu latihan yang cukup singkat, yakni hanya tiga hari, mereka sudah bisa piawai menari mengikuti nada-nada Sholawat Jawi Emprak. Gerakan Emprak sendiri tidak kaku, boleh dimodifikasi sesuai dengan para penarinya.

Sholawat Jawi Emprak rampung dipentaskan mejelang tengah malam, di tengah sunyi dan dinginnya Pondok Kaliopak. Setelah rampung gelaran di malam selikuran, makanan yang disajikan dibagi-bagi ke seluruh peserta.

Malam ditutup dengan makan bersama nasi uduk dengan lauk ayam ingkung. Semua nampak lahab menyantap makanan yang sudah didoakan ini.

Bari, 54, salah satu anggota Sholawat Jawi Emprak mengatakan, tidak hanya menari dia juga kadang memegang alat musik saat pentas Emprak. Menurutnya saat ini cukup sulit mencari penari Emprak.

"Latihannya dua minggu sekali, malam senin. Ikut sejak Emprak berdiri di Kaliopak," ujarnya.

Sejak awal berdiri, kata Bari, teks dari Sholawat Jawi Emprak sudah dituliskan dalam latin oleh Pondok Kaliopak. Tujuannya agar orang bisa mempelajari dengan mudah.

"Sempat hilang [Emprak], kalau enggak ada Pondok Pesantren Budaya sudah hilang. Rumah saya di sini, awalnya digerakkan Pak Kadi, saya ikut," ucapnya.

Sebagai informasi Pondok Pesantren Budaya Kaliopak dipimpin oleh Jadul Maula. Dia merupakan mantan Ketua Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Studi (LKiS).

Di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak kerap digelar pementasan musik, dan kesenian lainnya. Diskusi juga rutin diselenggarakan. Pada Ramadan, pondok pesantren tersebut juga menggelar kegiatan Ngaji Posonan yang diselenggarakan selama 17 hari.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

17 Warga di Sukabumi Keracunan Seusai Santap Jamur

News
| Kamis, 26 Desember 2024, 06:37 WIB

Advertisement

alt

Waterboom Jogja Kebanjiran Pengunjung di Libur Natal, Wahana Baru Jadi Daya Tarik

Wisata
| Selasa, 24 Desember 2024, 16:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement