Advertisement

Masih Banyak Orang Percaya Krisis Iklim Adalah Rekayasa

Lugas Subarkah
Selasa, 30 Januari 2024 - 20:47 WIB
Mediani Dyah Natalia
Masih Banyak Orang Percaya Krisis Iklim Adalah Rekayasa Beberapa narasumber dalam desiminiasi riset Menangkal Misinformasi Krisis Iklim di Era Digital, secara hybrid, Selasa (30/1 - 2024). Istimewa

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN—Walau perbincangan krisis iklim di media sosial dan internet sudah sangat banyak, faktanya masih banyak orang yang percaya jika krisis iklim adalah rekayasa. Hal ini terungkap dalam penelitian Center for Digital Society (CfDS) UGM yang berjudul Menangkal Misinformasi Krisis Iklim di Indonesia.

Penelitian yang didukung APNIC Foundation melalui The Information Society Foundation (ISIF ASIA) ini mengambil survei pada 2.401 responden dengan komposisi mayoritas perempuan (63,2%), lajang (56,9%), lulusan sarjana (34,7%), dan Gen Z (51,6%). Survei menemukan 24,2% responden percaya bahwa krisis iklim adalah rekayasa buatan yang diciptakan oleh penguasa global.

Advertisement

“Masyarakat masih banyak yang percaya pada teori konspirasi global. Mengejutkan juga sepertiga memiliki persepsi bahwa krisis iklim disebabkan oleh semakin banyak manusia melakukan maksiat dan tidak mematuhi agamanya,” ujar Peneliti CfDS, Novi Kurnia, dalam desiminasi riset Menangkal Misinformasi Krisis Iklim di Era Digital, secara hybrid, Selasa (30/1/2024).

Misinformasi iklim biasanya ditemukan pada konten yang dibuat dengan menggabungkan informasi atau gambar dari sumber yang berwenang, dan informasi palsu berupa keterangan atau teks penjelasan gambar.

“Tipe-tipe konten seperti ini berpotensi untuk menghasilkan bacaan yang menyesatkan, membuat asumsi yang lahir dari konten palsu, hingga mengakibatkan informasi derivatif yang terunggah dianggap sebagai informasi yang salah,” imbuhnya.

Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Eko Nugroho, menuturkan terjadi ketidakseimbangan antara konten misinformasi dan disinformasi dengan fakta yang beredar di media di Indonesia terkait krisis iklim.

“Hubungan pengguna atau masyarakat dengan informasi di media sosial erat memengaruhi dan dikaitkan secara emosional. Banyak di antara pengguna masyarakat Indonesia yang lebih cepat menyebarkan berita misinformasi dibandingkan dengan fakta secara yang alami dan diperbincangkan,” kata dia.

Tren persebaran misinformasi iklim di Indonesia semakin meningkat, dengan adanya jumlah climate-change deniers atau penyangkal krisis iklim tertinggi di dunia yakni sebesar 18%. Para penentang krisis iklim menggunakan strategi retorika untuk memengaruhi opini publik, khususnya dengan bantuan misinformasi melalui internet.

Baca Juga

Generasi Muda Harus Memahami Penyebab dan Dampak Perubahan Iklim

Perubahan Iklim Bikin Cuaca Kacau, Kadang Sangat Panas Kadang Sangat Dingin

BMKG Sebut Pemanasan Global Tahun Ini Bakal Lebih Terasa Dibandingkan 2023

Direktur Eksekutif WALHI, Zenzi Suhadi, mengatakan misinformasi bisa terjadi karena dua hal. Perubahan iklim yang menjadi kepentingan pihak global, dan adanya substansi informasi mengenai perubahan iklim yang sering dirancang dan dimanipulasi dulu sebelum disebarkan.

“Penyangkalan informasi krisis iklim disebabkan oleh cara orang Indonesia dalam menerima informasi, dan kepercayaan bahwa perubahan iklim disebabkan oleh tindakan maksiat. Kepercayaan terhadap misinformasi krisis iklim juga berkorelasi dengan kecenderungan teori atau pola pikir konspirasi,” ungkapnya.

Zenzi menegaskan perlunya menyebarkan lebih masif isu krisis iklim untuk internalisasi terkait istilah-istilah tentang perubahan iklim dan dampaknya supaya isu bisa menjadi familiar bagi masyarakat luas. “Salah satu cara menangani misinformasi, validasi dan otorisasi informasi terkait krisis iklim. Kalau kita mendapatkan informasi yang salah berkaitan dengan cuaca katakanlah, maka kita akan menyiapkan mitigasi yang salah juga,” imbuh Zenzi.

Rekomendasi secara akademis yang perlu ditindaklanjuti dapat berupa mengamati dan meneliti terkait pemetaan kebijakan pencegahan dan penanganan misinformasi lingkungan yang tidak hanya meliputi misinformasi dan disinformasi krisis iklim, namun juga mengenai informasi iklim secara umum, kebencanaan, maupun pemanasan global.

"Secara praktis, pelibatan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, institusi pendidikan, beragam komunitas terkait, tokoh agama dan masyarakat, social influencer, serta pengguna internet juga patut diinisiasi untuk membantu memfasilitasi ruang pertukaran informasi yang akurat dan mendukung program menangkal krisis iklim,” pungkas Novi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Cegah Tawuran, Polisi Bubarkan Pemuda Nongkrong

News
| Minggu, 28 April 2024, 07:47 WIB

Advertisement

alt

Komitmen Bersama Menjaga dan Merawat Warisan Budaya Dunia

Wisata
| Kamis, 25 April 2024, 22:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement