Advertisement

Mbah Benu Pendiri Masjid Aolia Sebut Kanjeng Ratu Kidul Jumlahnya Sembilan, Semua Jadi Jemaahnya

Maya Herawati
Senin, 08 April 2024 - 12:37 WIB
Budi Cahyana
Mbah Benu Pendiri Masjid Aolia Sebut Kanjeng Ratu Kidul Jumlahnya Sembilan, Semua Jadi Jemaahnya Imam Jemaah Aolia bernama KH. Ibnu Hajar Pranolo atau akrab disapa Mbah Benu. - Harian Jogja - Andreas Yuda Pramono.

Advertisement

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—KH Ibnu Hajar atau dikenal dengan nama Mbah Benu, adalah tokoh penting dalam penyebaran Islam di kawasan Pantai Selatan, Gunungkidul. Mbah Benu menggunakan pendekatan budaya untuk berdakwah, dengan mengubah narasi tentang Ratu Pantai Selatan agar lebih Islami.

Pemikiran dan upaya Mbah Benu menyebarkan Islam dituangkan dalam tesis berjudul Dekonstruksi Mitos Kanjeng Ratu Kidul dalam Pendidikan Akidah Perspektif KH Raden Ibnu Hajar Shaleh Pranolo 1942-Sekarang (2017) yang ditulis Mohammad Ulyan, mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto.

Advertisement

Mbah Benu bernama lengkap Raden Ibnu Hajar Shaleh Pranolo, lahir pada 28 Desember 1942 di Pekalongan dan besar di Purworejo. Dia belajar Islam langsung dari ayahnya, Kiai Sholeh bin KH Abdul Ghani bin Kiai Yunus. Kiai Sholeh mengenyam pendidikan di berbagai pesantren besar di Jawa seperti Krapyak, Termas, Lirboyo. Dia juga salah satu murid Mbah Kholil Bangkalan, Madura.

Mbah Benu pernah kuliah di Fakultas Kedokteran UGM tetapi keluar pada semester akhir karena tidak ingin menikmati uang dari orang sakit, menderita, atau meninggal dunia. Dia datang ke Gunungkidul untuk mengikuti istrinya yang menjadi bidan di Panggang. Mbah Benu dan istrinya menetap di Giriharjo, mulai 27 Juli 1972, dan sejak itu menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Gunungkidul.

Mbah Benu tiba di Panggang saat wilayah tersebut belum seramai sekarang. “Pada waktu itu, perjalanan menuju daerah ini ditempuh dengan berjalan kaki melalui jalan menanjak selama kurang lebih empat jam dari Imogiri. Bus angkutan umum belum sampai ke Gunungkidul karena jalan yang belum memadai,” kata Mbah Benu kepada Mohammad Ulyan.

Masyarakat setempat banyak yang belum memeluk Islam. Bahkan, menurut Mbah Benu, banyak warga Panggang yang tidak bertuhan sesuai prinsip monoteisme. Seperti masyarakat Jawa pada umumnya, mereka percaya dengan mitos Ratu Pantai Selatan dan merawat tradisi labuhan sebagai bentuk persembahan dan permintaan keselamatan kepada penguasa laut yang telah memberikan kehidupan.

Dalam penuturannya kepada penulis tesis, Mbah Benu berkata, “Masyarakat sini dulu dengan Tuhan percaya, tetapi dengan dunia lain juga percaya, dengan tanah juga percaya, tanah itu bisa memberi rezeki, sampai lupa kepada faktor ketuhanan. Dengan sedekah laut, panen melimpah, ikan melimpah, tidak banyak terjadi bencana karena Ratu Kidul tidak marah. Apa benar? Jadi peran Tuhan sudah tidak ada. Jadi Ratu Kidul itu seolah-olah segalanya.”

BACA JUGA: Profil Lengkap Mbah Benu Imam Jemaah Aolia Gunungkidul, Pernah Ditulis di Tesis

Dalam situasi inilah peran Mbah Benu sangat besar. Dia memasukkan nilai-nilai monoteisme Islam dalam narasi Ratu Kidul. Mbah Benu tetap menaruh hormat terhadap mitos Ratu Pantai Selatan. Di rumahnya, dia memajang banyak lukisan perempuan yang dia sebut sebagai gambaran Ratu Kidul.

Dalam konsep Mbah Benu, Ratu Kidul berbeda dengan Nyi Rara Kidul. Pemahaman ini berbeda dengan pemahaman awam yang menyebut Ratu Kidul dengan Kanjeng Ratu Kidul, Nyi Rara Kidul, Nyi Blorong ataupun Ratu Pantai Selatan.

“Nyi Rara Kidul itu jenis iblis, anak keturunan iblis. Kalau Kanjeng Ratu Kidul itu tadinya manusia. Sebagian tidak semuanya. Jumlahnya ada sembilan. Ditambah satu lagi di Laut utara. Itu semua dulunya manusia, tapi karena belajar ilmunya jin, juga nyembah para dewa, agama Hindu, akhirnya dia tidak mati sampai sekarang,” ujarnya.

Menurut Mbah Benu, ada beberapa sebutan terhadap Ratu Kidul yakni Kanjeng Ratu Kidul Dewi Putih, Kanjeng Ratu Kidul Nawang Wulan, Kanjeng Ratu Kidul Nari Ratih, dan lain sebagainya. Mbah Benu menyematkan nama Kanjeng di depan tiap sebutan Ratu Kidul sebagai bentuk kesopanan.

“Semuanya berjumlah sembilan, ditambah satu lagi Ratu Laut Utara yaitu Dewi Lanjar. Dia berasal dari golongan manusia, namun mengikuti ajaran jin atau agama Hindu pada waktu itu. Agama Hindu merupakan agama bumi yang paling tua,” ujarnya.

BACA JUGA: Mbah Benu Imam Jemaah Aolia Bangun Musala Menghadap Pantai Selatan Ngobaran Gunungkidul

Nilai-nilai Islam terlihat dalam narasi tentang proses Ratu Kidul mengimani Islam. Alkisah, Mbah Benu dan jemaahnya mencari emas. Dia kemudian melakukan perjalanan spiritual di Pantai Ngobaran dan bertemu dengan Ratu Kidul setelah menunggu 40 Jumat. Di pertemuan tersebut, Ratu Kidul menawarkan wanita cantik kepada Mbah Benu. Namun Mbah Benu tidak tergoda. Bahkan pertemuannya dengan Ratu Kidul tidak lagi dia pakai untuk mencari emas, tetapi untuk berdakwah dan mengajarkan kalimat tauhid kepada golongan jin. Lantaran Mbah Benu menolak tawaran wanita cantik, Ratu Kidul akhirnya tunduk dan bersedia mengucapkan syahadat.

Menurut Mohammad Ulyan, gambaran Ratu Kidul yang dikisahkan Mbah Benu dengan pemahaman akidah yang sesuai nilai-nilai tauhid menjadikan jemaah tidak merasa takut kepada sosok tersebut. Narasi tentang Ratu Kidul yang telah didekonstruksi Mbah Benu juga terbukti efektif karena banyak pengikut Mbah Benu yang kini tidak lagi menjalankan tradisi labuhan yang dianggap menyekutukan Tuhan.

Pendekatan budaya juga dipakai saat Mbah Benu membangun masjid di lingkungan tempat tinggalnya di Giriharjo pada 1984. Setelah masjid yang diberi nama Aolia itu selesai dibangun pada 1986, Mbah Benu merayakannya dengan menggelar pentas dangdut, tari, dan pencak silat. Dangdut dipakai sebagai media sosialisasi keberadaan masjid kepada anak muda.

Dalam tesisnya, Mohammad Ulyan berkata, “Jika langsung diberikan pengajian, maka orang-orang sekitar yang belum terbiasa datang ke masjid akan enggan untuk datang.”

BACA JUGA: Sejarah Berdirinya Masjid Aolia Gunungkidul, Mbah Benu Gunakan Pendekatan Budaya ke Masyarakat

Mbah Benu belakangan menjadi perbincangan setelah jemaah Masjid Aolia di Giriharjo, menunaikan salat Idulfitri pada Jumat (5/4) pagi, lima hari lebih awal dari konsensus mayoritas umat Islam di Indonesia. Mbah Benu tidak menjelaskan dasar penghitungan penetapan 1 Syawal. Namun, dia yakin penghitungannya sudah tepat.

Kepala Bidang Urusan Agama Islam (Urais) Kanwil Kemenag DIY, Jauhar Mustofa, menjelaskan pemerintah menjamin kebebasan memeluk agama dan keyakinan warganya, termasuk jemaah Aolia. “Tidak hanya menjamin, tetapi juga melindungi,” katanya, Minggu (7/4).

Menurutnya, jemaah Aolia sering berbeda dengan pemerintah maupun organisasi Islam lain dalam menetapkan 1 Ramadan dan 1 Syawal. “Biasanya satu atau dua hari, kami maklum. Mungkin perbedaan kriteria masih wajar. Tapi ini lima hari sehingga jadi perhatian kami. Kami akan silaturahmi memberikan pencerahan pembinaan agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat,” ungkapnya.

Dari penelusuran Kemenag, jemaah Aolia memang tidak menggunakan metode penghitungan maupun pengamatan seperti yang dilakukan organisasi Islam lain yang lebih mapan. Penghitungan kalender berasal dari Mbah Benu. Hal tersebut membuat beberapa orang menganggap pemahaman tersebut menyimpang.

Meski demikian, Kanwil Kemenag DIY tidak menuding jemaah Aolia sesat. Beberapa organisasi masyarakat Islam sudah menyampaikan pendapat mereka kepada Mbah Benu. "Tetapi karena keyakinan Mbah Benu seperti itu, kami menghormati saja,” kata Kepala Kanwil Kemenag DIY Masman Afif.

*Berita ini sudah diubah pada Jumat (8/4/2024) pukul 19.20 WIB dan dilengkapi dengan konteks perjalanan Mbah Benu menyebarkan Islam di Gunungkidul sebagaimana ditulis dalam tesis yang diterbitkan IAIN Purwokerto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

PKB dan PPP Kerja Sama Hadapi Pilkada Serentak 2024

News
| Selasa, 30 April 2024, 00:17 WIB

Advertisement

alt

Komitmen Bersama Menjaga dan Merawat Warisan Budaya Dunia

Wisata
| Kamis, 25 April 2024, 22:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement