Advertisement

Khawatir Sawah Tercemari Lindi, Warga Sitimulyo Tolak Pembangunan TPSS

Stefani Yulindriani Ria S. R
Jum'at, 05 Juli 2024 - 19:17 WIB
Arief Junianto
Khawatir Sawah Tercemari Lindi, Warga Sitimulyo Tolak Pembangunan TPSS Ilustrasi sampah. Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, BANTUL—Warga Kalurahan Sitimulyo, Piyungan menolak pembangunan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) Srimulyo. Pasalnya warga khawatir TPSS tersebut bakal mencemari sawah.

Kadiv Kampanye dan Advokasi WALHI Yogyakarta, Elki Setiyo menyampaikan sebelumnya pada Selasa (2/7/2024) warga menolak adanya TPSS Srimulyo saat Pemkab Bantul melakukan sosialisasi pembangunan TPSS Srimulyo.

Advertisement

Dia menuturkan penolakan datang dari warga Padukuhan Banyakan II, Banyakan III, Pagergunung I dan Pagergunung II. Dia menuturkan keempat padukuhan tersebut merupakan wilayah padukuhan yang berada di perbatasan Kalurahan Srimulyo dan Sitimulyo.

Dia menuturkan TPSS tersebut akan dibangun di tanah seluas 3.000 meter persegi dengan status tanah Sultan Grond (SG). Terdapat tiga titik yang akan dijadikan opsi yaitu TPSS Kaligatuk, TPSS Puncak Bucu, dan TPSS Tumpang.

Pemerintah akan menggunakan tanah tersebut untuk kegiatan pembuangan sampah dengan masa kontrak 6 bulan yang akan berakhir pada Desember 2024. “Warga menyatakan akan siap melakukan demonstrasi yang lebih besar apabila pemerintah tetap melakukan pembangunan TPSS di wilayah tersebut,” ujarnya, Jumat (5/7/2024). 

Menurutnya, warga empat padukuhan tersebut menolak adanya TPSS tersebut karena warga tersebut akan menerima dampak keberadaan TPSS. “Sawah-sawah warga dari keempat padukuhan di Sitimulyo terancam akan tercemar,” katanya. 

Dia menuturkan selama ini tidak ada penjelasan teknis terkait model pengelolaan lindi, dan pengelolaan gas metan yang akan dihasilkan dari timbunan sampah di sana. Selain itu, menurutnya warga juga tidak diberikan penjelasan mengenai TPSS tersebut hanya untuk pembuangan residu. Sehingga, menurutnya, warga khawatir sampah yang dibuang disana berasal dari pengangkutan hulu yang tidak diolah. 

Geomembran Bukan Solusi

Dia menuturkan sejauh ini, warga hanya diberikan infromasi bahwa TPSS tersebut akan menggunakan geomembran dan talut untuk menahan air lindi. “Namun, praktiknya, geomembran dan talut bukan menjadi solusi yang bisa menahan aliran lindi. Warga telah membuktikan dengan melakukan pengecekan di TPA Transisi yang menggunakan geomembran,” ujarnya. 

Menurutnya geomembran tersebut pada akhirnya tetap rusak dan air lindi masih mencemari tanah dan air warga. Dia menuturkan pembangunan TPA dan kebijakan yang serampangan dari kabupaten/kota DIY tersebut menunjukkan bahwa pemerintah belum siap dengan adanya desentralisasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa justru pemerintah provinsi DIY melepaskan tanggungjawabnya dari kegagalan pengelolaan sampah. 

BACA JUGA: Dua TPS 3R Belum Beroperasi, Sampah di Kota Jogja Diolah Swasta Pakai Sistem Tipping Fee

Dalam UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dinyatakan TPA merupakan tanggung jawab pemerintah provinsi. Menurutnya pasca kebijakan desentralisasi, pemerintah kabupaten dan kota  di DIY masih tergantung dengan TPA Piyungan. TPA Piyungan yang secara resmi telah ditutup, pun pada praktiknya masih menjadi pilihan tempat pembuangan sampah. “Alih-alih membuat pengelolaan sampah di hulu agar tidak membebani TPA eksisting yang ada di DIY, pemerintah daerah justru semakin menggencarkan pembangunan TPA,” ujarnya. 

Dia menuturkan dari berbagai peristiwa menunjukkan ada darurat sampah di Kota Jogja. WALHI Yogyakarta mendorong adanya solusi secara holistik. Menurutnya dalam mencapai adanya solusi holistik diperlukan perancangan, pengembangan, dan evaluasi yang jelas terkait kebijakan dan implementasi proyek pengelolaan sampah dengan sudut pandang sistemik dengan memastikan keselarasan antara manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Selain itu menurutnya diperlukan pula sistem pengelolaan sampah diselaraskan dengan tujuan sistemik yang lebih besar. Kemudian diperlukan pula kebijakan pengelolaan sampah yang menyediakan manfaat lebih jauh seperti udara bersih, penghidupan yang lebih baik, dan ketahanan pangan. “Hal-hal tersebut harus dapat diakses seluruh warga atau komunitas, khususnya bagi mereka yang saat ini dirugikan oleh pencemaran,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Tambang Emas Gorontalo Longsor, 11 Orang Meninggal 17 Lainnya Hilang

News
| Senin, 08 Juli 2024, 17:27 WIB

Advertisement

alt

Mencicip Nasi Jamblang Khas Cirebon di Kota Jogja

Wisata
| Sabtu, 06 Juli 2024, 13:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement