Advertisement

Sudut Merah Artjog, Siklus Pelanggaran HAM dalam Tahun-Tahun yang Berbahaya

Lugas Subarkah
Selasa, 09 Juli 2024 - 22:47 WIB
Maya Herawati
Sudut Merah Artjog, Siklus Pelanggaran HAM dalam Tahun-Tahun yang Berbahaya Pengunjung memasuki ruang pamer proyek seni karya Rangga Purbaya, di Artjog 2024, di Jogja Nasional Museum, beberapa waktu lalu. - Harian Jogja - Lugas Subarkah

Advertisement

JOGJARangga Purbaya menjadi salah satu seniman yang memamerkan karyanya dalam Artjog 2024 bertema Motif: Ramalan. Dalam pameran kali ini, ia mengingatkan kembali pelanggaran HAM yang masih terus terjadi hingga kini.

Nuansa yang berbeda dari beberapa ruang pameran lainnya di Artjog 2024 akan langsung dirasakan ketika memasuki proyek karya Rangga Purbaya. Dengan lampu penerangan sepenuhnya berwarna merah, nuansa muram akan langsung dirasakan oleh pengunjung. Proyek ini diberi judul Tahun-Tahun Yang Berbahaya (TTYB).

Advertisement

Proyek ini menempati ruang seluas sekitar 3X4 meter. Beberapa lampu sorot warna merah mengarah ke dinding di kanan dan kiri ruangan, yang menampilkan ratusan nama orang yang tertulis dalam beberapa lembaran panjang.

Di tengah ruangan, terdapat mesin proyektor lawas yang menyorotkan slide foto hitam putih wajah-wajah tak dikenal. Mesin itu mengeluarkan suara mekanik slide foto.

Tidak ada narasi yang disampaikan secara eksplisit dalam karya ini. Namun dengan nuansa muram lampu warna merah, ratusan nama di dinding, foto-foto portait hitam putih serta suara mekanik mesin proyektor lawas menuntun kita menuju bagian gelap memori masa lalu, peristiwa kelam yang yang pernah terjadi di negeri ini.

Rangga menjelaskan ada sekitar 750 nama yang ia tuliskan di lembaran-lembaran panjang itu. Semuanya ia dapatkan dari hasil risetnya tentang peristiwa 1965. “Dari penelitian-penelitian yang dilakukan, saya mendapatkan banyak data, salah satunya adalah nama-nama korban,” ujarnya saat ditemui, Sabtu (6/7).

Foto wajah-wajah yang ditampilkan melalui proyektor ia buat menggunakan artificial intelegent (AI). Ia menyebut wajah-wajah tersebut sebagai potret imajiner.

Wajah-wajah tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan nama-nama korban yang ditampilkan, tetapi hanya imajinasi Rangga memvisualisasikan nama-nama tersebut.

“Itu imajinasi saya sebagai seniman. Jadi dari daftar nama itu saya menyebutnya ini nama-nama tak berwajah. Kemudian untuk foto-fotonya yang diproyeksikan melalui slide, itu wajah-wajah tak bernama. Karena saya seniman, saya bekerja dengan imajinasi artistik,” kata dia.

Lulusan Jurusan Fotografi, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini mengambil inspirasi dari pidato Sukarno berjudul Tahun Vivere Pericoloso yang disampaikan dalam perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1964, tepat satu tahun sebelum peristiwa 1965 terjadi, ketika Blok Barat dan Blok Timur memanas. Vivere pericoloso adalah frasa dalam bahasa Italia yang artinya hidup penuh bahaya.

“Buat saya judul pidato itu dan isi pidatonya mencerminkan apa yang terjadi di tahun 1965. Jika kemudian kita mengaitkan dengan tema Artjog tahun ini yaitu Motif: Ramalan, kemudian menjadi cocok. Saya bisa mengasumsikan Presiden Sukarno sudah meramalkan, walau tidak terang benderang, tapi sudah ada firasat bahwa sesuatu yang buruk, perubahan besar, akan terjadi,” ujarnya.

Dalam proyek ini, Rangga mengangkat isu pelanggaran HAM yang terjadi pada 1965. Hal ini menurutnya penting karena masalah tersebut belum selesai.

Dalam peristiwa itu ada banyak orang yang dibunuh, dipenjarakan, dihilangkan tanpa melalui proses pengadilan, hanya karena dianggap terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) atau berideologi kiri.

BACA JUGA: Petani Kopi Temanggung Utung Besar, Harga Komoditas Naik 300 Persen

“Ini menjadi concern saya, karena penyelesaian ’65 itu menjadi simpul dari penyelesaian persoalan pelanggaran HAM [hak asasi manusia] yang lain. Pelanggaran HAM di Indonesia enggak cuma 1965, itu hanya salah satu yang terbesar. Setelah itu terjadi, sebelum itu juga terjadi. Itu layak untuk diselesaikan. Semua orang berhak untuk mendapat rasa keadilannya,” ungkapnya.

Jalur Hukum

Setelah peristiwa 1965, kasus pelanggaran HAM masih terus berulang, yang banyak di antaranya dilakukan oleh negara. Ia mencontohkan seperti yang terjadi di Timor Timor, Tanjung Priok, Talangsari, penembakan misterius (petrus) dan sebagainya. “Upaya saya sebenarnya untuk mendorong kita untuk lebih kritis melihat peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu. Saya sebagai seniman bisa berkontribusi untuk membuat publik tetap membicarakan itu. Tetap mengingat bahwa peristiwa itu ada,” katanya.

Dengan tidak diselesaikannya pelanggaran HAM 1965 secara resmi oleh negara melalui jalur hukum, peristiwa tersebut akan menjadi preseden buruk bagi kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya.

Ia mencontohkan dalam medio 1998, banyak aktivis yang hilang, pemerkosaan etnis Tionghoa, kasusnya tidak pernah diselesaikan hingga saat ini.

“Bahwa itu kemudian menjadi ramalan, itu sudah terjadi. Kalau kita bicara setelah Artjog ini apakah ada sesuatu yang akan terjadi, ya mungkin saja. Selama tidak ada upaya dari negara untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM di masa lalu, artinya kita tidak berusaha menjaga supaya hal-hal tersebut tidak terjadi lagi,” ungkapnya.

Rangga sudah menyelami isu pelanggaran HAM 1965 dalam kekaryaannya sejak 2014 silam. Karyanya mengintegrasikan berbagai medium, seperti fotografi, teks, mix media, video, instalasi, dan pertunjukan. Pada 2002, ia mendirikan Ruang MES 56, sebuah kolektif seniman di Jogja yang berfokus pada pengembangan fotografi dan seni kontemporer, yang beririsan dengan disiplin ilmu lain dengan pendekatan kritis dan kontekstual.

Pada 2015, ia bergabung dengan 1965 Setiap Hari, sebuah kolektif riset dan penyiaran transnasional yang bekerja dengan media sosial di Indonesia, sebagai salah satu anggota pendiri.

Praktik artistiknya membahas masalah sosial-politik yang menekan dengan mengadopsi metode investigasi artistik untuk menggali sejarah pribadi, memetakan kembali ingatan, dan identitas dalam pendekatannya untuk menghubungkan kembali jarak yang disebabkan oleh tragedi tersebut.

Karena fokus proyek dengan isu yang masih cukup sensitif di Indonesia, Rangga lebih sering menggelar pameran di luar negeri, seperti Australia, Korea Selatan, Jepang, Prancis, Amerika, Singapura, Thailand, Nigeria dan lainnya. “Bukan apa-apa, karena mungkin di sini orang kurang tertarik,” katanya.

Artjog 2024 menampilkan karya dari 48 seniman dewasa, individu maupun kelompok dari dalam dan luar negeri yang terdiri dari 30 seniman undangan dan 18 seniman panggilan terbuka, serta 36 seniman anak dan remaja yang lolos seleksi.

Kurator Artjog, Hendro Wiyanto, menjelaskan tema Ramalan mencakup pengertian yang cukup luas. Ramalan merupakan pola imajiner yang menghubungkan persilangan antara waktu lampau, hari ini, dan esok. Sebagai motif imajiner, pemaknaan atas suatu peristiwa tidak sepenuhnya ditentukan oleh sesuatu yang mendahuluinya, layaknya sebuah hipotesis di dalam bidang keilmuan.

Bagi seniman, ramalan adalah imajinasi dan daya prediksi yang menggerakkan kreativitas dalam proses mencipta.

“Gagasan tema Ramalan ini juga tidak hanya bermaksud untuk memastikan nujum atau ramalan para peramal di masa lalu, akan tetapi, tema ini menawarkan kesempatan bagi kita untuk membayangkan kembali gambaran peristiwa dan harapan menuju hari esok,” ungkapnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Rekomendasi Roti Sisir Enak di Jogja

Rekomendasi Roti Sisir Enak di Jogja

Jogjapolitan | 9 hours ago

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan dan Tim Meninjau Keberlanjutan Pembangunan IKN

News
| Minggu, 08 September 2024, 06:17 WIB

Advertisement

alt

Resor Ski Indoor Terbesar di Dunia di Shanghai China, Berukuran 350 Ribu Meter Persegi

Wisata
| Sabtu, 07 September 2024, 12:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement