Advertisement
Angka Kematian Akibat Leptospirosis di Kota Jogja Jadi Tertinggi Kedua di DIY

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Kasus leptospirosis di Kota Jogja hingga pertengahan Juli 2025 tercatat mencapai 21 kasus dengan tujuh di antaranya mengakibatkan kematian. Angka ini menempatkan Kota Jogja sebagai daerah dengan tingkat kematian tertinggi kedua di DIY akibat penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari air seni hewan pengerat tersebut.
Kepala Bidang Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY, Setiyo Harini, memaparkan jumlah kasus leptospirosis tertinggi terjadi di Kabupaten Bantul sebanyak 165 kasus dengan empat kematian, diikuti oleh Sleman dengan 53 kasus dan delapan kematian.
Advertisement
Sementara, Kabupaten Kulonprogo mencatatkan 32 kasus dengan lima kematian, dan Gunungkidul 11 kasus tanpa kematian. Meski bukan yang tertinggi dari sisi jumlah kasus, Kota Jogja mencatat tingkat kematian yang cukup tinggi. Dari 21 kasus yang tercatat, sepertiga di antaranya berujung kematian. Hal ini memicu perhatian dari Pemkot Jogja untuk mengevaluasi penanganan dan kewaspadaan terhadap penyakit tersebut.
Wali Kota Jogja, Hasto Wardoyo, menegaskan penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) belum dilakukan karena masih menunggu kajian teknis dari Dinas Kesehatan Kota Jogja. “Untuk menetapkan KLB itu ada rumusannya, jadi tunggu saja,” ujar Hasto, Senin (28/7/2025).
BACA JUGA: TNI AD Bakal Memproduksi Obat Murah untuk Dijual di Koperasi Desa Merah Putih
Meski demikian, Hasto mengingatkan pentingnya upaya pencegahan melalui kebersihan lingkungan. Ia menyoroti kawasan bantaran sungai sebagai titik rawan persebaran leptospirosis. “Harapan saya kebersihan lingkungan, terutama yang tinggal di tepi-tepi sungai itu perlu betul-betul diperhatikan,” katanya.
Menurut Hasto, musim kemarau seharusnya menjadi momentum tepat untuk menekan potensi penularan karena kondisi lingkungan tidak terlalu lembab. Namun realita di lapangan menunjukkan bahwa masih ada titik-titik kumuh dan basah yang memungkinkan bakteri leptospirosis berkembang.
Wali Kota juga menyebutkan jajarannya akan memetakan kasus yang terjadi untuk mengetahui tren penyebaran penyakit ini. “Kalau dipetakan, akan bisa dibaca trennya, lebih banyak di daerah seperti apa, itu akan sangat membantu dalam mengambil kebijakan,” katanya.
Hasto juga menekankan perlunya edukasi masyarakat terkait deteksi dini gejala leptospirosis. Ia menyebut bahwa ketersediaan obat bukan menjadi masalah utama, melainkan kemampuan masyarakat mengenali gejala awal. “Masalah obat sudah cukup, tinggal masalah mengenali dini, ada gejala dini yang harus kita kenali,” ujarnya.
Terkait dengan kemungkinan hubungan antara meningkatnya kasus leptospirosis dan penumpukan sampah, Hasto tidak menampik adanya kemungkinan korelasi. Ia menjelaskan bahwa daerah yang kotor, lembap, dan becek memang menjadi ekosistem yang cocok bagi persebaran leptospira. “Kalau daerahnya lembap, becek, basah, kotor, ya itu menjadi ekosistem yang cocok untuk leptospirosis,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement

Agenda Wisata di Jogja Pekan Ini, 26-31 Juli 2025, Bantul Creative Expo, Jogja International Kite Festival hingga Tour de Merapi 2025
Advertisement
Berita Populer
- Jadwal KRL Jogja-Solo Senin 28 Juli 2025: Stasiun Tugu, Lempuyangan, Maguwo, Ceper, Srowot, Klaten Delanggu hingga Palur
- Jadwal Kereta Bandara YIA Hari Ini Senin 28 Juli 2025, Berangkat dari Stasiun Tugu dan YIA
- Jadwal dan Lokasi Penjemputan Bus Sinar Jaya Jurusan Malioboro ke Parangtritis Senin 28 Juli 2025
- Jadwal KRL Solo-Jogja Hari Ini Senin 28 Juli 2025: Dari Stasiun Palur, Jebres, Balapan, Purwosari hingga Ceper Klaten
- Catat! Jadwal SIM Keliling Sleman Akhir Juli 2025
Advertisement
Advertisement