Advertisement
Jadi Pemandu, Ibu-Ibu Perajin Batik Giriloyo Raup Penghasilan Tambahan

Advertisement
Harianjogja.com, BANTUL—Bagi ibu-ibu pembatik tulis di Kampung Batik Giriloyo, Kalurahan Wukirsari, Kapanewon Imogiri, Kabupaten Bantul, membatik bukan satu-satunya sumber penghasilan.
Sejak lebih dari satu dekade lalu, mereka juga aktif menjadi pemandu wisata bagi para pengunjung yang datang untuk belajar batik. Aktivitas ini tidak hanya memperkenalkan batik tulis khas Giriloyo, tetapi juga memberi tambahan penghasilan bagi para pembatik di sela-sela waktu produksi.
Advertisement
Menurut Bahtiar, salah satu pengelola di Kampung Batik Giriloyo, kegiatan ibu-ibu menjadi pemandu wisata sudah berlangsung sejak tahun 2008, bersamaan dengan berkembangnya kegiatan edukasi batik di kawasan itu.
“Awalnya hanya sebatas demonstrasi membatik untuk pengunjung yang datang. Tapi sejak 2009–2010, kegiatan ini mulai berkembang menjadi paket wisata edukatif,” ujarnya, Selasa (21/10/2025).
BACA JUGA
Bahtiar menjelaskan, sistem kegiatan wisata di Giriloyo dikelola oleh paguyuban pembatik yang kini telah berbadan hukum dan berstatus koperasi sejak 2021.
“Dulu namanya paguyuban, sekarang sudah menjadi koperasi. Di bawahnya ada 12 kelompok batik. Setiap kelompok punya anggota sendiri, dan semuanya tergabung dalam wadah besar agar tidak terjadi persaingan tidak sehat antar-pembatik,” katanya.
Melalui wadah koperasi ini, berbagai kegiatan wisata diatur dan dijadwalkan secara rapi. “Setiap kali ada kunjungan, kami sudah punya jadwal. Misalnya hari ini ada lima sesi, sesi pertama diikuti 200 siswa. Maka kami hitung kebutuhan pemandunya. Kalau satu pemandu mendampingi lima anak, berarti perlu sekitar 40 orang. Nanti pembagian pemandu diambil dari kelompok-kelompok batik yang ada,” kata Bahtiar.
Sistemnya dibuat bergiliran agar semua kelompok mendapat kesempatan. “Kalau kelompoknya besar, ya jarang dapat giliran. Sebaliknya, yang anggotanya sedikit bisa lebih sering berangkat. Jadi tetap adil,” ucapnya.
Bahtiar mengatakan, ibu-ibu pembatik yang menjadi pemandu wisata tidak hanya mendampingi wisatawan belajar membatik, tetapi juga bercerita tentang sejarah dan filosofi batik Giriloyo.
“Mereka sambil mengajarkan cara membatik juga menjelaskan makna motif batik dan sejarahnya. Jadi selain menjadi pemandu, mereka juga berperan sebagai storyteller,” katanya.
Tak hanya menjadi pemandu, para pembatik juga aktif di berbagai divisi di bawah koperasi, seperti divisi catering dan divisi pengembangan suvenir.
“Ada ibu-ibu yang pintar masak, mereka bisa ikut divisi catering untuk menyiapkan makanan bagi tamu. Ada juga yang mengembangkan produk olahan seperti teh gurah, pil gurah, atau suvenir khas Giriloyo. Semuanya dijual di galeri batik,” ujar Bahtiar.
Pendapatan dari menjadi pemandu wisata cukup membantu para pembatik, terutama ketika pesanan batik sedang sepi. “Satu sesi mendampingi wisatawan selama dua jam, satu pemandu biasanya mendampingi lima anak. Dari situ mereka bisa dapat Rp35.000 sampai Rp40.000 per sesi,” ungkapnya.
Harga paket wisata di Kampung Batik Giriloyo pun bervariasi tergantung jumlah peserta. “Kalau rombongan kecil berisi lima orang, tarifnya Rp50.000 per orang. Kalau jumlahnya di atas 25 orang, tarifnya bisa turun jadi Rp35.000. Untuk rombongan besar, bisa sampai Rp30.000 per orang, bahkan bisa dinego lagi kalau pesertanya ratusan,” terang Bahtiar.
Khibtiyah, salah satu pembatik tulis sekaligus pemandu wisata di Galeri Batik Giriloyo, mengatakan bahwa kegiatan ini sangat membantu menopang ekonomi keluarga para pembatik.
“Kalau hanya mengandalkan hasil membatik saja, belum cukup, karena prosesnya panjang. Uang baru didapat setelah batik selesai dijual,” ujarnya.
Ia menjelaskan, menjadi pemandu wisata memberi kesempatan bagi para pembatik untuk tetap produktif di sela-sela waktu menunggu batik kering atau proses pewarnaan selesai.
“Kalau kami tidak sedang mewarnai atau menjemur kain, kami bisa ikut memandu wisata. Setelah itu bisa lanjut membatik di rumah,” kata Khibtiyah.
Menurutnya, penghasilan dari kegiatan ini cukup berarti. “Dalam satu sesi dua jam, kami bisa dapat sekitar Rp35.000 sampai Rp40.000. Lumayan untuk tambahan biaya dapur,” katanya sambil tersenyum.
Selain mendampingi wisatawan belajar membatik, para pembatik juga berbagi cerita tentang kehidupan mereka dan filosofi di balik motif batik Giriloyo.
“Anak-anak sekolah yang datang biasanya sambil wawancara untuk tugas. Kami bantu jelaskan tentang sejarah batik, prosesnya, dan filosofi di baliknya. Jadi kami bukan hanya mengajar, tapi juga mengenalkan budaya,” ungkapnya.
Khibtiyah menambahkan, kegiatan menjadi pemandu wisata telah berjalan rutin sejak tahun 2009–2010, setelah sebelumnya hanya sebatas demonstrasi.
Menentukan Harga
“Dulu kami rutin ikut pameran dua tahun sekali untuk memperkenalkan batik. Tapi setelah wisatawan mulai datang sendiri, kami fokus mengembangkan kegiatan wisata edukatif di kampung,” ujarnya.
Namun, di balik geliat ekonomi dan semangat pelestarian budaya itu, para pembatik masih menghadapi tantangan dalam menentukan harga jual yang sesuai untuk batik tulis mereka. “Selama ini harga batik masih sama antara musim kemarau dan musim hujan, padahal waktu produksinya bisa lebih lama kalau musim hujan,” ujar Khibtiyah.
Menurutnya, batik dengan pewarna alami membutuhkan proses panjang karena harus dicelup dan dikeringkan berkali-kali.
“Untuk satu warna saja bisa sampai sepuluh kali celup. Kalau musim hujan tentu lebih lama, karena pengeringan terganggu. Tapi kami belum tahu cara menghitung harga jual yang ideal, jadi harga tetap sama,” jelasnya.
Ia berharap ke depan ada pendampingan atau pelatihan tentang penentuan harga jual batik agar para pembatik lebih sejahtera “Kami butuh edukasi soal itu, supaya bisa menentukan harga jual yang adil dan sesuai dengan kerja keras kami,” kata Khibtiyah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement

Desa Wisata Adat Osing Kemiren Banyuwangi Masuk Jaringan Terbaik Dunia
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement