Advertisement

Raih Indeks Demokrasi Tertinggi, DIY Hadapi Tantangan Baru

Andreas Yuda Pramono
Kamis, 13 November 2025 - 17:37 WIB
Maya Herawati
Raih Indeks Demokrasi Tertinggi, DIY Hadapi Tantangan Baru Peserta Focus Group Discussion (FGD) sedang mengikuti diskusi bersama narasumber di Kenes Resto, Kalurahan Sinduadi, Mlati, Sleman, Kamis (13/11/2025). - Harian Jogja - Andreas Yuda Pramono

Advertisement

SLEMAN—Dengan skor Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tertinggi secara nasional pada 2024 sebesar 89,25, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kini menghadapi tantangan baru dalam menjaga keterbukaan ruang publik dan stabilitas politik pasca-Pemilu serentak. Isu itu menjadi sorotan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Konsolidasi Demokrasi dalam Menjaga Stabilitas Politik Daerah: Refleksi Dinamika Politik DIY 2025 yang digelar Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) DIY di Kenes Resto, Kamis (13/11/2025).

Jabatan Fungsional Penggerak Swadaya Masyarakat (JF PSM) Madya pada Badan Kesbangpol DIY, Noericha Amalah, mengatakan situasi politik daerah memasuki fase penyesuaian dan konsolidasi setelah Pemilu serentak berakhir. Menurutnya, konfigurasi politik berubah dengan munculnya aktor baru serta dinamika hubungan antara elite dan konstituen yang semakin kompleks.

Advertisement

“Perlu upaya bersama untuk memastikan agar demokrasi yang tumbuh di daerah tetap berjalan dalam koridor konstitusional, stabil, dan berorientasi pada kepentingan publik,” ujar Noericha. Ia menambahkan, nilai-nilai demokrasi modern beririsan dengan kearifan lokal di DIY yang menekankan harmoni sosial. Namun, harmoni itu kini menghadapi tantangan baru pasca-Pemilu.

Anggota Badan Intelijen Negara (BIN) DIY, Muhammad Iqbal Wahyu Asdi, menyebut dinamika demokrasi di DIY beberapa bulan terakhir meningkat tajam. Ia mencontohkan demonstrasi di Polda DIY yang berujung pada penangkapan sejumlah aktivis dan lahirnya Serikat Tahanan Politik Indonesia (STPI). “Pascaaksi itu, muncul berbagai diskusi publik dan aksi solidaritas. Hal ini menandakan DIY masih menjadi kawah candradimuka bagi ide dan aksi politik yang berpengaruh secara nasional,” kata Iqbal di Kenes Resto, Kamis.

Iqbal juga menegaskan, skor IDI 89,25 menempatkan DIY sebagai barometer sosial politik nasional yang harus dijaga kualitasnya melalui partisipasi publik yang sehat.

Sementara itu, akademikus UGM, Hakimul Ikhwan, menilai harmoni sosial tidak lagi cukup menjadi ukuran kematangan demokrasi. “Kematangan demokrasi diukur dari seberapa terbuka ruang publik terhadap keberagaman,” kata Hakimul. Menurutnya, indikator lain yang penting adalah deliberasi, atau kemampuan masyarakat menghadirkan diskusi yang sehat di ruang publik.

Sebanyak 80% warga DIY kini menerima informasi politik dari media sosial seperti TikTok dan Instagram, yang sering kali membentuk opini tanpa ruang debat terbuka.

Hakimul juga menyinggung fenomena sosial seperti klitih, yang mencerminkan frustrasi sosial di kalangan muda. “Tingkat kemiskinan DIY tertinggi di Pulau Jawa, sementara biaya hidup layak kedua tertinggi setelah Jakarta. Tekanan ekonomi ini bisa memunculkan gejala sosial yang berimbas pada stabilitas politik,” katanya.

Ketua KPU Bantul, Joko Santosa, menilai letupan konflik politik di akar rumput sering dipicu sempitnya ruang ekspresi. Ia menyebut praktik deliberatif perlu diperkuat, salah satunya melalui program Pemilihan Umum OSIS (Pemilos) di sekolah. “Anak muda tidak bisa hanya diajari teori konstitusi tanpa ruang praktik. Namun, program sosialisasi semacam ini butuh dukungan pendanaan,” ujarnya.

Ketua KPU Kota Jogja, Noor Harsya Aryosamodro, menambahkan kebijakan eksekutif dan legislatif sangat berpengaruh pada dinamika demokrasi. Ia mencontohkan komunitas transpuan yang merasa ditinggalkan setelah pesta demokrasi usai. “Mereka sudah menggunakan hak pilih, tetapi belum mendapat hak sosial seperti bantuan dan asuransi,” ujarnya.

Dari kalangan media, jurnalis Harian Jogja, Bhekti Suryani, menyoroti bagaimana respons pemerintah terhadap aksi demonstrasi turut menentukan wajah demokrasi di daerah. Ia menilai aksi protes yang merebak pada Agustus 2025, termasuk di Yogyakarta, merupakan bentuk kekecewaan publik terhadap kebijakan yang dianggap membatasi kebebasan berekspresi.

 

Menurut Bhekti, kasus pemberedelan gaya baru terhadap Majalah Tempo menjadi alarm bagi kebebasan pers. “Padahal, UU Pers menjamin kemerdekaan pers dan menyediakan mekanisme etik serta nonlitigasi untuk penyelesaian sengketa,” ujarnya.

FGD ini menegaskan bahwa meski memiliki skor demokrasi tertinggi, DIY tetap menghadapi ujian penting: menjaga ruang publik agar tetap terbuka, inklusif, dan mampu mengelola konflik tanpa kehilangan harmoni sosial yang menjadi jati dirinya. (Advertorial)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

UU Baru Akhiri Krisis Shutdown Terpanjang di AS

UU Baru Akhiri Krisis Shutdown Terpanjang di AS

News
| Kamis, 13 November 2025, 17:47 WIB

Advertisement

Sakral, Abhiseka Prambanan Rayakan Usia ke-1.169

Sakral, Abhiseka Prambanan Rayakan Usia ke-1.169

Wisata
| Kamis, 13 November 2025, 09:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement