Advertisement
Penambang Pasir Kali Progo Mandek 9 Bulan, Izin Tak Terbit
Ilustrasi protes tambang Sungai Progo. - Harian Jogja
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA— Ratusan penambang pasir Sungai Progo dari Bantul dan Kulonprogo mengaku tidak bisa bekerja selama sembilan bulan lantaran izin penambang rakyat (IPR) belum dapat diterbitkan Pemda DIY.
Hambatan utama berasal dari regulasi yang tidak memperbolehkan penggunaan pompa mekanik, sementara sebagian besar penambangan berada di kawasan palung sungai.
Advertisement
Ketua Perkumpulan Penambang Progo Sejahtera (P3S), Agung Mulyono, mengatakan izin IPR terakhir kali diterbitkan pada 2019 dan berakhir pada 2024. “Izin enggak bisa diperpanjang,” ujarnya, Jumat (14/11/2025).
Sejak izin berakhir, sekitar 840 penambang tidak bisa kembali bekerja. “Jika dikalikan dengan jumlah keluarga, itu bisa ribuan orang yang hidupnya bergantung pada tambang ini,” katanya.
BACA JUGA
Agung menjelaskan pengajuan izin baru terkendala Rekomendasi Teknis (Rekomtek) dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu-Opak yang melarang penggunaan pompa mekanik dalam IPR. Padahal, penambang di palung sungai tidak memungkinkan bekerja secara manual. “Kedalaman dua meter saja butuh pompa mekanik. Kalau pakai cangkul dan cengkrong enggak bisa,” ungkapnya.
Ia menegaskan penambang rakyat tidak menggunakan alat berat dan hanya mengandalkan pompa mekanik. Pekerjaan ini juga telah dilakukan secara turun-temurun oleh warga di sekitar sungai sejak 1987. “Kami memang enggak punya pilihan kerja lain. Dari dulu ya kerja di tambang itu,” paparnya.
Menanggapi persoalan tersebut, Sekda DIY Ni Made Dwipanti Indrayanti menjelaskan masalah penambangan rakyat di Sungai Progo bukan hanya soal alat, tetapi juga berkaitan dengan zonasi. “Tata ruang sudah menentukan zona merah yang tidak boleh ditambang. Yang memungkinkan itu hanya di palung,” katanya.
Namun, penambangan di palung justru membutuhkan pompa mekanik. Karena itu, Pemda DIY meminta BBWS Serayu-Opak melakukan kajian ulang terkait aturan penggunaan alat. “Analisis diperjelas sampai kemungkinan teknisnya seperti apa. Misalnya apa yang bisa dilakukan di pinggir sungai dan apa yang memungkinkan di palung,” ujarnya.
Ia menekankan kajian harus memuat kaidah pertambangan yang baik, terutama soal pengelolaan lingkungan dan keselamatan. “Harus ada batasan, berapa yang boleh diambil, dan bagaimana pengawasannya. Itu penting,” jelasnya.
Selain itu, aturan perlu disinkronkan dengan tata ruang sehingga bisa dibuat pengecualian bila diperlukan. “Kalau tata ruang sudah mengatur wilayah mana yang boleh ditambang, ya itu yang dipakai. Lalu BBWS menyesuaikan secara teknis,” paparnya.
Kajian tersebut akan melibatkan akademisi dari UGM dan UMY, serta para penambang. “Agar hasilnya komprehensif, akademisnya ada, teknisnya ada, dan pelaku lapangannya juga dilibatkan,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Instruksi Presiden, BNPB Percepat Penanganan Longsor Majenang
Advertisement
GPIB Marga Mulya di Jogja Dibuka untuk Wisata Arsitektur Indis
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement



