Advertisement

Kebiasaan Brandu Warga Gunungkidul Berakibat Fatal, Ini Solusi Alternatif Menurut Pakar

Catur Dwi Janati
Jum'at, 07 Juli 2023 - 18:47 WIB
Abdul Hamied Razak
Kebiasaan Brandu Warga Gunungkidul Berakibat Fatal, Ini Solusi Alternatif Menurut Pakar Dosen Fakultas Peternakan UGM, Nanung Danar Dono - Harian Jogja // Catur Dwi Janati

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN—Kebiasaan brandu atau memberi sumbangan suka rela kepada pemilik ternak sapi yang mati atau sakit dinilai dapat meningkatkan risiko penularan zoonosis bila daging dari ternak mati dikonsumsi bersama.

Langkah pemberian insentif bagi ternak mati atau penerapan skema asuransi ternak dinilai mampu menekan kebiasaan brandu yang ada di Gunungkidul. 

Advertisement

BACA JUGA: Viral Penyakit Antraks di Gunungkidul, Kenali Penyebab, Gejala dan Cara Mengobati

Hanya saja, Dosen Fakultas Peternakan UGM, Nanung Danar Dono menilai kebiasaan brandu seharusnya tidak dilakukan lagi. Terlebih mengingat bahayanya yang fatal hingga mengakibatkan kematian.

"Budaya brandu itu jangan dilakukan lagi selamanya. Cukup sudah ada tetangga kita yang akhirnya harus sakit atau bahkan harus meninggal dunia. Cukup sudah jangan ada kasus lagi," tegasnya pada Jumat (7/7/2023). 

Andai kata sulit untuk ditinggalkan, kebiasaan brandu bisa tetap dilakukan dengan catatan ternak yang mati selanjutnya dimusnahkan. Bukan justru disembelih lalu dibagi-bagikan dagingnya.

"Jadi mohon dengan sangat brandu jangan dilakukan lagi. Andaikan sulit dihilangkan, maka ketika harapannya sudah di ganti dengan uang, dibeli begitu, mohon dagingnya jangan dimakan tapi dimusnahkan," ujarnya.

Nilai-nilai positif dalam brandu yang kental dengan gotong royong dan empati mungkin bisa diteruskan. Namun, sisi negatifnya yakni mengonsumsi ternak sakit atau mati ini lah yang dinilai kudu ditinggalkan.

"Kalau tidak bisa dihilangkan, dimodifikasi. Hal yang positif lanjutkan yang negatif tinggalkan. Yang positif itu kan membantu tetangga yang kesusahan," ujarnya.

BACA JUGA: Pemerintah Pusat Turun Tangan Terkait Wabah Antraks Gunungkidul, Salurkan 96.000 Dosis Antiobiotik

"Kebiasaan yang sangat baik, saling berempati dengan tetangga yang dapat musibah. Tapi kalau membantu ternak yang mati mendadak boleh lah membantu tapi tolong dagingnya jangan dimakan," tegasnya.

Nanung juga mengingatkan bahaya daging bangkai yang menjadi sumber penyakit ketika dikonsumsi. Apalagi jika ternak yang mati disebabkan oleh penyakit zoonosis yang bisa menular ke manusia, risiko terburuknya bahkan bisa sampai merenggut nyawa.

"Jangan eman-eman, sapi bangkai itu sumber penyakit. Jadi kalau ada hewan kok mati mendadak pasti ada sebabnya. Kalau sebab matinya karena penyakit antraks itu menular dan risikonya yang terburuk sampai meninggal dunia," lanjutnya.

Bila berkaca dari sejarahnya, brandu menurut Nanung sudah dilakukan sejak lama. Namun selama itu pula, kebiasaan brandu juga tak lepas dari serentetan kasus antraks.

Dalam catatan Nanung, penularan antraks akibat brandu juga pernah terjadi pada medio 2019 di Gunungkidul. Kala itu kasus antraks yang terjadi juga diduga akibat brandu di wilayah Gombang, Ponjong. "Itu juga bermula dari brandu itu, 2019 kalau enggak salah," tuturnya.

Insentif dan Asuransi Ternak

Selain memodifikasi tradisi, brandu bisa ditekan lewat skenario insentif atau ganti rugi ternak mati dan asuransi ternak. Dengan demikian, pemilik ternak tidak mengandalkan brandu untuk mendapatkan bantuan. Melainkan dari ganti rugi yang diberikan saat ternak mengalami kematian tertentu. Khususnya pada kasus ternak mati karena antraks.

"Saya kira sangat baik kalau ada masukan kepada pemerintah bahwa ada kematian fix positif karena antraks, maka ada insentif atau penggantian, saya kira bagus," ungkapnya.

Skema asuransi ternak juga dimungkinkan bisa jadi solusi menekan kebiasaan brandu. Alangkah baiknya ada jasa asuransi yang mampu mewadahi kasus kematian ternak dengan sebab dan syarat tertentu. Langkah ini menurut Nanung sudah marak dilakukan di luar negeri dimana para peternak mengikutkan ternaknya pada layanan asuransi.

BACA JUGA: Antraks di Semanu karena Warga Makan Daging Sapi yang Dikubur, Begini Penjelasan Kepala Dusun

"Bisa [asuransi], saya kira bisa. Tinggal lembaga asuransi mana yang mau. Di luar negeri itu ada, asuransi hewan ternak," ungkapnya.

Kendati demikian juga bukan perkara yang mudah mengajak para peternak untuk ikut mengasuransikan ternaknya. "Karena mengeluarkan uang yang enggak kelihatan kan enggak mudah," ujarnya.

Akan tetapi skema asuransi pada daerah endemis antraks menjadi hal yang sangat penting untuk menekan kerugian peternak. Juga dalam konteks ini menekan kebiasaan brandu.

"Kalau di lokasi endemis saya kira itu sangat penting. Meskipun dari pihak asuransinya tidak mau rugi, maka polis-nya akan lebih tinggi atau bagaimana. Tapi kalau pun ada ide itu, saya kira positif," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Begini Respons Kemenkes Melihat Kasus Covid-19 di Singapura yang Naik

News
| Selasa, 21 Mei 2024, 15:47 WIB

Advertisement

alt

Lokasi Kolam Air Panas di Jogja, Cocok untuk Meredakan Lelah

Wisata
| Senin, 20 Mei 2024, 07:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement