Hutan Nangka Gunungkidul Potensi untuk Eduwisata dan Pemasok Bahan Baku Gudeg
Advertisement
Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—Beberapa kilometer sebelum simpang tiga Kepil Jatiayu, Kapanewon Karangmojo mulai banyak pohon rimbun berdiri menjulang di bahu jalan. Sekitar 550 meter dari pertigaan tersebut menuju Jalan Wonosari – Semin, tampak tanaman merambat membelit pohon-pohon yang terlihat ringkih.
Dengan adanya pohon-pohon tersebut, rest area Sekar Gama terasa dingin dan tenang. Jumat (24/5/2024) siang, suasana sepi. Terik matahari tak mampu menembus rimbunnya pepohonan.
Advertisement
Sisi timur rest area itu, persis seberang jalan, adalah rumah Sutarno, seorang petani yang mengurus kebun nangka di sekitaran rest area tersebut. Di depan rumahnya, di sebuah kursi kayu panjang dengan kerangka yang tipis, dia menceritakan rencana pengembangan hutan nangka yang berada di lahan seluas 96 hektar.
“Hutan nangka itu sudah sejak tahun 2000 ketika UGM [Universitas Gajah Mada] masuk. Wong saya itu penggarap pertama,” kata Sutarno ditemui di rumahnya, Jumat (24/5).
Meski telah 23 tahun berselang, Sutarno yang menjabat sebagai Ketua II KT Reksowono mengaku pengembangan buah nangka dan/atau kawasan hutan nangka tersebut belum maksimal. Regulasi pemanfaatan buah nangka pun juga belum jelas.
“Petani juga bertanya-tanya. Sementara, hutan nangka itu hanya jadi objek penelitian UGM,” katanya.
Kelompok tani (KT) pun juga menjual nangka muda atau biasa disebut gori/tewel tersebut ke orang-orang yang butuh. Gori dijual dengan harga bervariasi. KT dapat menjual per buah, per kilogram, atau pakai sistem tebas.
Beberapa orang yang mengambil gori dari hutan nangka Jatiayu berasal dari kapanewon sekitar. Gori tersebut dipakai sebagai bahan baku gudheg.
“Per kilogram gori dibanderol seharga Rp3.000. Kemarin juga gori dijual ombyokan begitu, punyanya uang berapa, Rp300.000 ya sudah diambil,” ucapnya.
BACA JUGA: Permintaan Gudeg Jelang Liburan Meningkat, Harga Nangka Muda Naik 3 Kali Lipat
Hutan nangka tersebut tidak sepenuhnya berisi pohon nangka. Di sela-sela pohon nangka yang jaraknya berjauhan ada juga pohon ketela dan tebu. Tak tampak pohon yang sedang berbuah. Beberapa pohon nangka justru berumur masih sangat muda dengan daunnya yang jarang dan batang pohonnya yang kecil.
Ketua Kelompok Tani Wanaboga Jatiayu, Sukrisno mengatakan pohon-pohon nangka di hutan nangka Jatiayu pada awalnya berasal dari hasil kerja sama UGM dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY.
“Hutan nangka itu, dua tahun lalu ditetapkan sebagai hutan keistimewaan. Jadi pohon jati yang masih ada di situ, nanti setelah dimanfaatkan, lahannya akan dipakai untuk pohon nangka. Total luasan 98 hektar,” kata Sukrisno.
Sukrisno mengaku, ketika itu Gubernur DIY, Sri Sultan HB X berpesan bahwa hutan nangka tersebut jadi ikon penting, karena penanaman pohon nangka di lahan seluas 98 hektar merupakan yang terbesar di Indonesia.
Hutan nangka tersebut nantinya akan dikembangkan lebih jauh sebagai kawasan edukasi. Petani yang mengurus hutan tersebut ada sekitar 200 orang.
“Kelompok tani Wanaboga menaungi pengelolaan lahan 98 hektar. Selain itu ada juga pengelola rest area I dan II, tempat kuliner yang mulai dirintis mandiri,” katanya.
Sukrino menerangkan bahwa hutan nangka tersebut belum berorientasi pada pengembangan buah nangka dari hulu ke hilir. Saat ini, nangka-nangka yang ada masih menjadi objek penelitian bagi akademisi atau mahasiswa.
BACA JUGA: DIY Punya Potensi Ekspor Gudeg dan Salak, Tapi Masih Terkendala Ini..
Pada 2023, KT Wanaboga menjual nangka atau gori ke orang-orang yang membutuhkan. Hasil penjualan tersebut dipakai untuk memperbaiki sarana-prasarana hutan nangka, termasuk membuat pagar di rest area.
“Kelompok tani penghasilannya dari mengolah lahan. Ada juga palawija, suket, dan jagung,” ucapnya.
Terang Sukrisno, pohon nangka yang ditanam UGM di hutan tersebut berasal dari semua jenis nangka yang ada di Indonesia. Hanya, dia tidak hafal nama-nama jenis nangka tersebut.
Guna pengembangan hutan nangka secara lebih jauh, Sukrisno mengharapkan ada pembangunan sarana prasarana penunjang seperti akses jalan yang dapat digunakan untuk mengelilingi hutan.
Selain itu, dia berharap ada bangunan limasan/joglo yang dapat menjadi kantor. Kantor tersebut juga dapat menjadi lokasi transit studi banding.
“Sementara ini, kalau kami diminta Pemprov menanam ya menanam, diminta merawat ya merawat,” lanjutnya.
Sukrisno dan petani lain masih menunggu master plan pengembangan hutan nangka dari Pemerintah Provinsi. Adapun master plan yang memuat pengembangan kawasan penyangga hutan nangka telah ada.
Kawasan tersebut akan terintegrasi dengan hutan nangka. Dengan begitu, wisatawan dapat memiliki pilihan destinasi wisata yang variatif. Hanya, penganggaran dan pembangunan kawasan penyangga belum ada informasi lebih lanjut.
Di dalam kawasan hutan tersebut terlihat mata air juga. Bahkan, ada seorang perempuan berumur sekitar 65 tahun sedang mencuci.
Pedagang gudeg di DIY, menurut Sukrisno masih mendatangkan gori dari luar daerah. Apabila hutan nangka dapat panen secara berkala dan produktif, maka pasokan gori tersebut dapat dipenuhi tanpa suplier luar daerah.
Pohon-pohon nangka yang ada pun dapat dimanfaatkan kayunya sebagai bahan baku pembuat kendang. DIY menjadi suplier utama kendang ke berbagai daerah. “Itu arahan Sri Sultan. Arah jangka panjangnya seperti itu. Multiguna,” pungkasnya.
BACA JUGA: Wow! Gudeg Yu Narni Siapkan Pasokan 1 Ton Gori Selama Libur Lebaran
Humas Pemda DIY, dalam keterangan tertulis di situs jogjaprov.go.id menjelaskan suplai nangka untuk gudheg, makanan khas Yogyakarta didatangkan dari Lampung. Pada 2021, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, Bambang Hendroyono mengatakan pihaknya akan mendistribusikan bantuan bibit nangka di tahun yang sama. Beberapa jenis pohon nagka yang kemudian ditanam di Plasma Nutfah Nangka, Karangmojo yaitu jenis nangka sayur guna mendukung penyediaan bahan baku gudheg khas Yogyakarta, dan nangka jenis buah yang dapat langsung dikonsumsi.
Di laih pihak, Kepala Kantor Bagian Daerah Hutan Karangmojo, Eko Purwanto membenarkan produksi nangka dari hutan nangka belum maksimal dan belum dapat menyuplai bahan baku gudheg secara besar-besaran.
“Panen dalam skala besar memang belum bisa. Tapi ke depan memang ada rencana untuk mengembangkan lebih jauh agar panen lebih maksimal,” kata Eko.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Sore Ini, Aliansi Bela Palestina Gelar Aksi di Kedubes AS Jakarta
Advertisement
Hotel Harper Malioboro Hadirkan Kuliner Lokal Brongkos Daging Jogja
Advertisement
Berita Populer
- Libur Akhir Tahun, Tim SAR Bakal Berjaga 24 Jam di Pantai Parangtritis
- Endah-Joko Unggul di Sebelas Kapanewon di Pilkada Gunungkidul Versi Internal
- Pilkada 2024, Rekapitulasi Tingkat Kecamatan di Gunungkidul Dimulai di Playen
- Sementara Menang, Hasto Wardoyo Bandingkan Pilkada Jogja dan Kulonprogo
- Antisipasi Dampak Bencana hingga Akhir Tahun, Pemkab Kulonprogo Siapkan Rp501 Juta
Advertisement
Advertisement