Advertisement

Presidential Threshold Dihapus, Pemohon: Kami Ingin Ada Paslon Perempuan yang Memperjuangkan Isu Domestik

Andreas Yuda Pramono
Jum'at, 03 Januari 2025 - 13:17 WIB
Ujang Hasanudin
Presidential Threshold Dihapus, Pemohon: Kami Ingin Ada Paslon Perempuan yang Memperjuangkan Isu Domestik Empat pemohon uji materi Pasal 222 UU Pemilu sedang berfoto bersama di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta di Kapanewon Depok, Sleman, Jumat (3/1/2025). - Harian Jogja / Andreas Yuda Pramono

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN—Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menghapus presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Atas hal ini, para pemohon yang merupakan mahasiswa-mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga (Suka) mengungkap motif permohonan penghapusan PT.

Pemohon I, Enika Maya Oktavia mengatakan pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berkontestasi dalam Pemilu terlalu sedikit dan tidak dapat mengakomodir preferensi pemohon sebagai seorang pemilih.

Advertisement

“Kami berharap ada paslon perempuan yang membawa isu-isu domestik ke ranah nasional. Dengan adanya presidential threshold 20 persen, harapan kami sulit terwujud. Peserta pemilu akan itu-itu saja,” kata Enika ditemui di UIN Suka Yogyakarta di Sleman, Jumat (3/1).

Enika menambahkan dia dan ketiga temannya sebagi pemohon hadir untuk memperjuangkan hak sebagai pemilih, bukan memperjuangkan partai kecil agar dapat ikut kontestasi.

Permohonan uji materi/ judicial review yang mereka lakukan berawal dari kompetisi debat yang digelar Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI 2023. Ketika masuk babak final, Enika dan tim memperdebatkan PT 20%.

“Pemilih seperti kita saat ingin mengajukan judicial review UU Pemilu kan tidak bisa. MK mengaku kita tidak punya legal standing. Tapi kemudian ada putusan MK 90 yang menyatakan pemilih juga punya legal standing. Dari situ, kami mulai membuat draft permohonan di Februari 2024,” katanya.

BACA JUGA: Putusan MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden, Mahfud MD: Harus Ditaati!

Enika menilai Pasal 222 Undang-Undang (UU) No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable.

Tiga unsur terakhir tersebut menjadi dasar kuat bagi Enika, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna mengajukan uji materi.

Itu kami elaborasi dnegan keadaan Pilpres 2024, sehingga hasilnya seperti sekarang. Kami tegaskan perohonan kami tidak mendapat intervensi dari manapun. Ini murni perjuangan akademik dan perjuangan advokasi konstitusional.

“Kami ini subjek demokrasi dan bukan objek, seharusnya legal standing kami diterima,” ucapnya.

Lebih jauh, Enika menjelaskan Pasal 222 UU Pemilu melanggar Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, karena bertentangan dengan asas pemilu periodik.  Asas ini menuntut setiap pemilu berlangsung secara independen dan berdasarkan preferensi politik pemilih pada periode yang bersangkutan.

Sedangkan suara dari pemilu legislatif sebelumnya digunakan untuk menentukan syarat pencalonan presiden di pemilu berikutnya akibat presidential threshold. Hal ini menciptakan distorsi representasi karena tidak mencerminkan preferensi aktual pemilih pada saat pemilu berlangsung, yang seharusnya menjadi dasar proses demokrasi.

Pemohon juga menilai bahwa prinsip one man, one vote, one value telah disimpangi karena suara pemilih diberi bobot berbeda antar periode, sehingga merugikan pemilih.

Disinggung mengenai pengajuan permohonan pasca-Pilpres 2024, Enika menegaskan tekanan politik akan luar biasa besar mendekati Pilpres. Pasca-Pilpres, tekanan akan mengendur, sehingga MK tidak akan mendapat intervensi dalam menggagalkan permohonan.

“Perjuangan kami adalah perjuangan akademik, perjuangan advokasi konstitusional. Kami ingin kajian yang dilakukan MK tidak mendapat pengaruh buruk secara politik melainkan benar kajian akademik dan substansi hukum,” lanjutnya.

Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Dr Ali Sodiqin mengatakan pemohon mampu menemukan gap antara teori di bangku kuliah dengan realitas di masyarakat.

“Mereka kemudian menempuh jalan konstitusional melalui judicial review. Ini manifestasi kepedulian mahasiswa terkait sistem demokrasi yang berjalan,” kata Prof Ali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Presiden Prabowo Diprediksi Jadi Pemimpin Dunia Berpengaruh Versi Straits Times

News
| Minggu, 05 Januari 2025, 15:17 WIB

Advertisement

alt

Asyiknya Camping di Pantai, Ini 2 Pantai yang Jadi Lokasi Favorit Camping Saat Malam Tahun Baru di Gunungkidul

Wisata
| Kamis, 02 Januari 2025, 15:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement