Advertisement

Mengeja Gerak Langkah Manusia dalam Upaya Bertahan Hidup di Pemeran Foto Sing Penting Madhang

Catur Dwi Janati
Senin, 05 Mei 2025 - 18:02 WIB
Maya Herawati
Mengeja Gerak Langkah Manusia dalam Upaya Bertahan Hidup di Pemeran Foto Sing Penting Madhang Suasana pameran foto Sing Penting Madhang yang digelar PFI Jogja di GIK UGM pada Kamis (1/5/2025). - Harian Jogja // Catur Dwi Janati 

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMANPewarta Foto Indonesia (PFI) Jogja kembali menggelar pameran foto yang tahun ini mengusung tajuk Sing Penting Madhang. Tajuk ini merekam dan memperlihatkan berbagai upaya manusia untuk hidup dengan cara mencari makan.

Beberapa foto ditampilkan dengan gambar yang timpang, antara upaya mencari makan secukupnya "sakmadya" dengan upaya rakus atas nama mencari makan yang merusak kelestarian alam secara masif. Berikut laporan Reporter Harian Jogja, Catur Dwi Janati.

Advertisement

Sing Penting Madhang menyodorkan ratusan foto yang bermuara pada makan. Mulai dari makan, dimakan, mencari makan, politik meja makan, dampak dari makan, krisis makan dan segala sesuatu tentang makan semuanya disajikan dalam menu prasmanan ratusan foto yang digelar di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1-8 Mei 2025.

Berbagai proses dan tahapan mencari makan, bahkan seakan tuntas ditampilkan dalam foto-foto. Dalam karya salah satu pameris, Wawan H Prabowo prosesi menanam padi cikal bakal bahan pangan dipotret dengan nuansa yang berbeda. Tak nampak orang berjajar segaris yang bercocok tanam padi di dalam photo story Wawan yang bertajuk Menanam Padi Lokal di Bumi Ciptagelar.

Wawan merekam peristiwa masyarakat di Kampung Adat Ciptagelar, Cisolok, Sukabumi yang menggelar prosesi ritual sebagai ungkapan doa dan wujud syukur setiap kali memulai tanam dan menuai padi. Setidaknya ada 12 kali proses ritual yang mengiringi perjalanan padi selama setahun.

Dalam foto Wawan yang ditampilkan di pameran Sing Penting Madhang ritual sebelum menanam padi tergambar dengan khidmat. Nampak seseorang yang disebut Abah Ugis memimpin upacara melak pare dengan merapal doa di pematang petak sawah.

Seusai doa selesai dipanjatkan, lima batang padi ditanamkan diiringi suara desing tembakan para penjaga padi atau rorokan paninggaran. Yang dalam foto Wawan mereka ditampilkan dengan gambar lima pria tua dengan empat pria di antaranya membawa senapan meletupkan tembakan ke arah udara tepat di tepi tempat sawah melahirkan makanan.

"Yang penting makan itu ini. Kalau menurutku adalah cara bagaimana memaknai makan. Itu sebenarnya kan kebutuhan primer ya, ada sandang, pangan, papan. Nah untuk mencari yang makan, itu kan butuh usaha keras, kerja keras yang seperti itu," kata Ketua Pameran, Dwi Oblo pada Kamis (1/5/2025).

Pameran Sing Penting Madhang tak hanya menampilkan ritual yang digelar masyarakat di sawah dalam proses permulaan mencari makan. Dalam beragam foto yang berbeda, pameran Sing Penting Madhang juga menunjukkan ritual masyarakat di berbagai tempat sesuai lokasi tempat mereka mencari makan. Beberapa ada yang menggelar ritual di gunung, beberapa lainnya menggelar ritual di tepi pantai, di laut atau bahkan di dalam pabrik sekalipun tempat bahan pangan diolah.

Oblo yang juga mempersembahkan karyanya dalam pameran memperlihatkan foto upacara tradisi Cembengan atau giling tebu perdana di pabrik gula. Di dalam fotonya orang-orang berbaju adat lengkap duduk bersila mengitari berbagai macam sajian makanan. Kontras di belakangnya terlihat tegas rangkaian besi-besi pabrik sebagai lokasi tempat upacara digelar.

"Jadi kayak bersyukur lah. Ungkapan syukur pada Tuhan kalau panennya kayak gini, mesinnya enggak rusak. Ini menarik sekali kan, jadi yang makan itu nggak cuma manusia. Mesin-mesin [juga] butuh," ujar Oblo.

Karya Wawan dan Oblo seolah menggambarkan bagaimana bahkan sebelum mencari makan dimulai, sudah ada kegiatan yang harus dilakukan. Memanjatkan doa sederhana sebelum berangkat kerja maupun menggelar ritual khusyuk sebelum bercocok tanam menjadi bagian yang melekat bahkan sebelum seseorang mulai mencari makan. Tahapan ini menjadi awal orang mencari makan.

"Jadi bukan makan secara harfiah ya, tapi bagaimana ketika mau makan itu harus ngapain sih? Makannya kan lumayan lengkap lah [foto dalam pameran]," ungkapnya.

BACA JUGA: Belajar Melawan Rasa Malas dari Budaya Jepang

Dalam penataan letaknya, Sing Penting Madhang secara tegas juga memajang perbedaan kepentingan mencari makan untuk sepiring nasi dengan mencari makan untuk kepuasan mengenyangkan hasrat pribadi yang seakan tak pernah usai.

"Ada yang memang kita sebagai wartawan ya melihat ada yang mung sakmadya [secukupnya tidak berlebih-lebihan], misalnya seperti ibu-ibu [memanggul bahan pangan] di pasar, tetapi ada yang kayak deforestasi seperti itu," tuturnya.

Dalam foto karya Ulet Ifansasti deforestasi terpotret layaknya lika-liku labirin menuju kehancuran alam. Menghilangkan gambaran hijau hutan hanya menyisakan jejak pola kematian alam nyaris tanpa kehidupan. Dalam Photo Story Ifan bertajuk Surga Yang Terancam, lima foto Ifan menggambarkan secara beringas dampak deforestrasi yang mengancam manusia dan penghuni lainnya di sekitarnya.

Masih di dalam dinding yang sama, Ifan menampilkan foto seorang gadis kecil dengan latar berantakan memegang selembar kardus berisi pesan Icah Tak Ingin Hutan Terbakar.

Dengan kerudung dan masker yang dipakainya, hanya terlihat mata Icah yang sayu namun dengan semangat perlawanan yang lugas, menentang deforestasi yang mencekik alam sehingga seakan susah bernapas.

Kebakaran hutan tak hanya mengancam Icah, tapi juga satwa-satwa di dalamnya. Sejumlah orang utan dipotret Ifan dalam jeruji besi seakan terusir dari tempat hidupnya mencari makan oleh "pencari makan" lainnya yakni manusia yang memamah habis hutan, mencacahnya hingga tak tersisa. Termasuk tak menyisakannya bagi para orang utan.

"Sing Penting Madhang ini tidak secara harfiah ngomong soal makan gitu, tapi ngomongin soal bagaimana ekonomi, krisis yang terjadi sekarang, misalnya iklim atau misalnya kritik-kritik sosial dan lain-lain itu juga bisa tersampaikan," kata Ifan yang juga kurator dalam pameran.

Icah maupun orang utan tersebut hanya segelintir dari lebih banyak orang yang menjadi korban para rakus yang melahap alam mentah-mentah, meninggalkan kerusakan alam tanpa upaya perlindungan yang matang.

Sementara di dinding lainnya menampilkan potret ritual sebagai rasa syukur dan penghormatan terhadap alam, foto Ifan justru menggambarkan bagaimana sisi lain manusia yang acuh kepada eksistensi dan kelestarian alam. Di saat foto-foto lain dalam pameran menunjukkan kaum buruh, pedagang pasar berpeluh keringat hingga terkantuk-kantuk kepayahan dalam upaya mencari sesuap makan dengan prinsip sakmadya atau secukupnya, foto Ifan menunjukkan sisi sebaliknya bagaimana rakusnya pencari makan yang seolah tak ada batasnya.

"Karena kita ngomong soal perut, soal makan, ya sampai mana kamu akan puas sebagai manusia, keserakahan itu enggak ada batasnya selalu gitu, dan itu pengin diciptakan lewat pameran ini," lanjut Ifan.

Dari 120 foto yang ditampilkan dalam pameran, Ifan mengatakan proses kurasi dilakukan terhadap dari sekitar seribuan karya yang masuk. Banyaknya karya potensial ini tentu membuat tim kurator kesulitan. Apalagi, karya yang masuk tentang tema Sing Penting Madhang ini cukup bervariasi. Kurator juga harus menyusun alur cerita dalam pameran.

"Sudah pasti kesulitan, karena jelas foto teman-teman kan juga sangat bervariasi dan aku juga harus memilih alur cerita mana yang mau dibangun, seperti apa, jadi kalau ketika kita ngomongin krisis sosial seperti apa, kita ngomongin soal masalah lingkungan seperti apa, kita ngomongin soal masalah urban seperti apa, ketika bicara soal misalnya ngomong soal ada kritik-kritik sosial dari kita, misalnya sampah, masalah sampah, masalah metropolitan," jelasnya.

Pameran Sing Penting Madhang juga merekam pergulatan kaum urban dalam upaya untuk tetap hidup dan mengais makanan. Fragmen kehidupan urban ini salah satunya disampaikan dalam rangkaian foto jepretan Beawiharta.

 

Mengangkat tajuk Kereta Api Riwayatmu Kini, Beawiharta menyibak arsip perjalanan si ular besi yang menjadi saksi hidup masyarakat urban mencari makan dari waktu ke waktu.

Beawiharta dalam keterangan fotonya bercerita jika pada 1991 kereta api di Jabodetabek secara ekonomis menjadi moda angkutan penumpang dan barang termurah yang bisa dibangun negara. Pada periode itu kereta api disebut Beawiharta sangat tidak manusiawi.

Manusia bercampur dengan barang dagangan, berhimpit dengan ayam dan kambing, berjibaku dengan pencari makan lainnya seperti pengamen, pengemis dan pencopet menaiki kereta yang sama dengan tujuan untuk tetap hidup dengan cara Sing Penting Madhang. Orang-orang bak masuk dalam gerbong neraka kurang lebih satu jam untuk menuju neraka yang lain yakni tempat kerja yang kadang menjengkelkan.

"De Facto, kereta api menjadi angkutan publik dua tingkat, di bawah layaknya oven panas dan pengap, di atas lebih nyaman berudara segar sekaligus sangat berbahaya," kata Beawiharta dalam keterangan fotonya.

Secara sekilas keruwetan angkutan kereta api itu diabadikan dalam foto-foto Beawiharta di pameran Sing Penting Madhang. Para penumpang di atas gerbong seperti semut menunggang punggung ular besi. Di foto yang lain, para penumpang seperti diburu waktu jumpalitan segera naik ke atas gerbong menuju tempat mereka mencari makan.

Perlahan wajah kereta api berubah. Namun kisah para pencari makan yang menungganginya terus terekam abadi dalam perjalanan untuk hidup. Dalam salah satu foto lainnya, Beawiharta memotret seorang perempuan duduk menyilangkan kaki di luar kereta sambil menenggak air minum. Perempuan itu hanya satu dari gambaran penumpang yang kehausan dan mungkin kelelahan dalam perjalanan mencari makan. Kisah perjalanan kereta api menjadi artefak yang terus berjalan dari kisah pencari makan yang hidupnya sama beriringan dari peron ke peron. 

Sementara dalam sisi yang lain di dalam pameran, unsur politik meja makan juga dipasang dengan jelas. Foto-foto itu tak sendiri namun bersanding dengan potret para demonstran di dinding pameran yang lain. Mereka yang menuntut agar bisa tetap makan, agar tetap bisa hidup, nasibnya kadang ditentukan oleh keputusan atau kebijakan yang lahir dari meja perjamuan makan para penguasa.

Pameran "Sing Penting Madhang" secara garis besar berhasil menghidangkan menu foto-foto yang merekam berbagai peristiwa upaya untuk tetap hidup dan agar tetap bisa makan. Gambaran dari awal sebelum mencari makan, saat mencari makan, di dalam meja makam, di luar meja makan, dimakan dan memakan semua berusaha disuguhkan selengkap-lengkapnya dalam pameran Sing Penting Madhang.

Ketua PFI Jogja, Andreas Fitri Atmoko mengatakan tajuk Sing Penting Madhang yang terdengar sederhana bahkan terkesan hanya guyonan ala Jawa ini justru menyentuh sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan, yakni kebutuhan manusia untuk makan, bertahan hidup di tengah situasi yang kadang tidak ideal.

Lewat frasa itu, rekan-rekan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Jogja kata Andre mengajak masyrakat untuk merenung tentang perjuangan rakyat kecil, tentang dinamika sosial yang tak pernah berhenti dan tentang bagaimana manusia terus bertahan dengan caranya masing-masing.

Andre melanjutkan jika tugas seorang  jurnalis foto di era media sosial menjadi semakin kompleks dan penting.

Tidak hanya sekadar mengambil gambar yang bagus, jurnalis foto juga memastikan bahwa gambar tersebut punya nilai jurnalistik, akurat dan tidak menyesatkan. Jurnalis foto juga merekam peristiwa nyata dengan gambar yang menggambarkan kebenaran situasi, kolaborasi antara realitas dan kreativitas, bukan sekadar estetika yang dicipta dari rekayasa kecerdasan buatan.

Sebanyak 126 karya foto yang ditampilkan dalam pameran Sing Penting Madhang imbuh Andre adalah hasil bidikan 25 anggota PFI yang merupakan hasil tangkapan momen, emosi dan narasi kehidupan yang otentik. Foto-foto tersebut kata Andre tidak hanya bicara soal makan dalam arti harfiah, tapi juga menyiratkan perjuangan ekonomi, politik, budaya, hingga solidaritas dalam menghadapi tantangan zaman.

"Pameran ini adalah penghormatan bukan bagi mereka yang ada di balik kamera tetapi juga bagi mereka yang  hidupnya tergambar di dalamnya, mereka yang menyuarakan kisahnya tanpa kata kata," katanya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Mentrans Iftitah Serahkan 1.200 SHM Tanah untuk 690 KK Transmigran Lokal

News
| Rabu, 18 Juni 2025, 23:57 WIB

Advertisement

alt

Destinasi Wisata Puncak Sosok Bantul Kini Dilengkapi Balkon KAI

Wisata
| Jum'at, 06 Juni 2025, 16:02 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement