WKCP, Upaya untuk Terus Menjadi Teman Sejati Para Penyandang Cerebral Palsy
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA - Memiliki anak dengan Cerebral Palsy membuat Reny Indrawati banyak belajar. Dari pengalamannya itulah, dia lantas membentuk komunitas bernama Wahana Keluarga Cerebral Palsy yang diharapkan bisa menjadi keluarga besar untuk saling menguatkan.
Ponsel Reny Indrawati jarang sepi dari pesan atau panggilan masuk. Selain urusan keluarga dan pekerjaan, banyak juga nomor baru yang menghubunginya.
Advertisement
Tidak hanya berasal dari DIY yang merupakan provinsi tempat dia tinggal, orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia juga acap menghubungi Reny untuk berkonsultasi tentang Celebral Palsy (CP).
Kegiatan Reny menggeluti dunia pendampingan pasien CP sudah ia awali sejak belasan tahun lalu.
Anak Reny merupakan penderita CP, tetapi kondisi itu tidak langsung diketahui oleh keluarga atau bahkan dokter. Badan anak Reny yang gemuk membuat hal itu menjadi samar. Pernah saat umur tiga bulan, anaknya kejang-kejang.
“Karena dia gemuk, enggak ke-detect. Baru setelah [anak saya berusia] 18 bulan tahunya [kalau dia mengidap CP], sudah terlambat,” kata Reny saat ditemui di peringatan Hari Celebral Palsy Sedunia di Sleman City Hall, Sleman, Minggu (16/10/2022).
BACA JUGA: Prakiraan Cuaca DIY Hari Ini: Hanya Satu Wilayah yang Cerah Berawan
Setelah mengetahui kondisi anaknya, Reny menghubungi semua kenalan yang paham tentang CP. Dia ingin tahu bagaimana memperlakukan anak dengan CP yang tepat.
Saat mengetahui kondisi itu, Reny awalnya tidak begitu terpuruk. Namun, dalam perjalannya, melihat perkembangan anaknya cukup lambat dibanding anak-anak di luar negeri, kadang kala membuat dia down.
Kini anak Reny sudah berusia 14 tahun. Mengetahui bahwa mendampingi anak dengan CP membutuhkan banyak dukungan, pada Maret 2012, Reny bersama beberapa orang tua yang memiliki anak CP, membentuk komunitas bernama Wahana Keluarga Cerebral Palsy (WKCP).
Pada dasarnya, WKCP merupakan ruang edukasi dan peningkatan kapasitas pendamping CP. “WKCP menjadi tempat capacity building orang tua [yang memiliki anak CP]. Orang tua harus ngapain, kami terangkan. Kami ingin orang tua punya pengetahuan itu,” kata Reny yang saat ini menjadi Sekretaris WKCP. “Anggota WKCP di bagi menjadi dua grup. Pertama adalah yang usianya 16 tahun ke bawah dan ke atas. Programnya beda, orientasi dari segi pubertas dan lainnya.”
Reny sadar betul, orang tua yang mengetahui anaknya menderita CP belum tentu bisa sekuat dirinya.
Tidak jarang ada yang sudah terpuruk sedari awal. Itulah sebabnya, di WKCP sesama anggota mencoba saling menguatkan. Di sini pula saling bertukar informasi terkait CP, baik cara mengakses fasilitas kesehatan, jenis terapi, sampai bantuan apabila membutuhkan.
Saat awal-awal mengetahui anaknya memiliki CP, Reny masih bisa meminta bantuan orang lain untuk menjaga anaknya.
Dia masih bisa bekerja rutin. Namun, sejak diketahui apabila anaknya juga mengidap epilepsi, dia memutuskan berhenti bekerja rutin dan 24 jam mengurus anak.
Kalau pun bekerja, Reny memilih untuk freelance (tenaga lepas). Dia ingin tetap ada di samping anaknya, terutama saat terjadi keadaan darurat. Pengalaman pendampingan anak CP ini yang Reny sampaikan pada anggota WKCP lain.
Pendampingan Mandiri
Setelah adanya komunitas, beberapa dokter yang sudah tahu, akan merekomendasikan orang tua yang anaknya juga mengidap CP untuk bergabung. “Jadi kontak saya sudah tersebar di mana-mana,” kata Reny sembari tertawa.
Komunikasi melalui grup atau personal melalui daring semakin tinggi selama pandemi Covid-19. Sebelumnya, ada pertemuan rutin bulanan. Akan tetapi pembatasan kegiatan sosial membuat pola komunikasi berubah.
Dari komunikasi ini, diharapkan orang tua nantinya bisa mendampingi anaknya secara mandiri. Terlebih bantuan baik dari pemerintah ataupun pihak lain tidak bisa selamanya diandalkan.
BACA JUGA: Dinkes Jogja Cegah Stunting Lewat Gerakan Aksi Bergizi
Dalam hal terapi misalnya, ada berbagai jenis terapi yang perlu dijalani dalam sepekan. Mulai dari fisioterapi, terapi okupansi, terapi wicara, terapi perilaku, dan lainnya. Setiap terapi rata-rata berbiaya Rp100.000. “Setiap anak terapinya berkali-kali. Dalam sebulan, terapi bisa habis sekitar Rp5 juta,” katanya.
Ada beberapa terapi yang ditanggung BPJS Kesehatan. Namun, setelah anak berusia tujuh tahun, ada pengurangan jam terapi yang ditanggung BPJS.
Itulah sebabnya, WKCP juga memberikan pemahaman dan edukasi bahwa orang tua perlu melakukan terapi sendiri. Sehingga tanpa ada jaminan dari BPJS, orangtua bisa melakukan terapi mandiri di rumah.
Reny menegaskan, gangguan saraf pada anak CP bisa jadi tidak akan kembali, tetapi apabila tidak diterapi dan dilatih setiap harinya, kondisi fisik anak bisa menurun.
Salah satu contohnya, tulang anak CP terus tumbuh seiring waktu. Sementara otot yang merupakan salah satu gangguan utama CP cenderung kaku. Apabila tidak ada perlakuan rutin berupa terapi dan latihan, pertumbuhan tulang dan otot tidak akan seimbang.
Dalam kondisi tertentu, perlu adanya operasi. “Operasi itu sakit. Belum tentu setelah itu anak punya semangat buat latihan lagi. Jadi perlu terapi seumur hidup agar kelenturan otot terjaga,” kata Reny.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Erdogan Desak Negara Dunia Terapkan Putusan Penangkapan Netanyahu
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Kantongi Izin TRL, Teknologi Pemusnah Sampah Dodika Incinerator Mampu Beroperasi 24 Jam
- Korban Apartemen Malioboro City Syukuri Penyerahan Unit, Minta Kasus Tuntas
- Tak Gelar Kampanye Akbar Pilkada Sleman, Tim Paslon Harda-Danang Bikin Kegiatan Bermanfaat di 17 Kapanewon
- Kembali Aktif Setelah Cuti Kampanye, Ini Pesan KPU Kepada Bupati Halim dan Wabup Joko Purnomo
- Semarak, Ratusan Atlet E-Sport Sleman Bertarung di Final Round E-Sport Competition Harda-Danang
Advertisement
Advertisement