Advertisement

Menari dan Mengobati, Jadi Cara Pemuda Sentolo Ini Mengabdi

Lajeng Padmaratri
Sabtu, 15 Oktober 2022 - 05:57 WIB
Arief Junianto
Menari dan Mengobati, Jadi Cara Pemuda Sentolo Ini Mengabdi Inggar (kanan) saat menari. - Instagram inggarbw

Advertisement

Harianjogja.com, KULONPROGO — Mendalami studi di bidang medis, tak membuat Inggar Bagus Wibisana abai terhadap seni dan budaya Jawa, tanah kelahirannya. Di sela-sela kesibukannya sebagai dokter, pria asal Sentolo, Kulonprogo itu kini terlibat dalam sejumlah kegiatan kebudayaan.

Sehari-harinya, Inggar bertugas sebagai dokter di salah satu rumah sakit di Kulonprogo. Alumnus Prodi Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini disibukkan dengan jadwal jaga rumah sakit dan bertemu pasien.

Advertisement

Siapa sangka dokter muda ini juga menekuni kegiatan sebagai abdi dalem mataya (penari) di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Di sela-sela tugasnya mengobati pasien, Inggar memilih mengabdikan diri di upaya pelestarian kebudayaan.

Selain menari di Kraton, Inggar juga mengajar tari di Yayasan Siswa Among Beksa (YSAB). Di sanggar yang sudah ia ikuti sejak kuliah itu, dia mengajar tari klasik. Hal itu ia lakukan sebagai bentuk kecintaannya pada seni tari dan budaya Jawa.

Tak seperti abdi dalem lainnya di Kraton Jogja yang punya latar belakang mempelajari seni dan kebudayaan Jawa sejak kecil, Inggar sama sekali tak memiliki fondasi tari tradisi yang dibangun sejak dini.

Kepada Harianjogja.com, pria 26 tahun ini mengaku baru terjun di dunia tari saat dirinya kuliah semester III.

"Jadi awal mulanya masuk dunia tari itu gara-gara tertarik sama latihan tari di Kraton saat saya main ke sana. Iseng saja tanya kalau mau menari di Kraton caranya gimana, lalu dijelaskan bahwa harus masuk ke sanggar. Jadi bukan yang saya sudah terbiasa menari sejak kecil, saya baru di tari," kata Inggar, Jumat (7/10) lalu.

BACA JUGA: Kebanjiran, SMKN 1 Temon Sekolah Daring

Karena dia merasa masih punya waktu luang di sela-sela jadwal kuliah, Inggar pun mendaftar ke Yayasan Pamulang Beksa Sasmita Mardawa untuk berlatih tari klasik.

Namun, karena kemudian jadwalnya acap bertabrakan dengan jadwal kuliah, Inggar pindah ke sanggar YSAB hingga lulus, bahkan memutuskan untuk menjadi guru di sana hingga saat ini.

Meski tergolong baru di dunia seni tari, Inggar mengaku sudah sejak lama menyimpan ketertarikan terhadap hal-hal berbau budaya. Inggar kecil sudah tertarik dengan batik, meskipun tidak populer di kalangan anak-anak sebayanya.

Dia juga pernah menari saat ekstrakurikuler tari, tetapi tidak melanjutkannya. Di seni musik, Inggar juga pernah menorehkan prestasi sebagai juara I penyanyi keroncong remaja putra se-DIY saat dirinya duduk di bangku SMA.

"Kemudian saat ke Kraton lihat tari, saya jadi kembali tertarik buat belajar. Saya kan orangnya senang dengan sesuatu yang baru ya, jadi saya merasa tari menarik untuk dipelajari. Enggak menyangka sampai sejauh ini sampai jadi abdi dalem mataya," kata dia.

Sebagai orang Kulonprogo, dia sama sekali tidak pernah menyangka bisa jadi abdi dalem. Sebab, selama ini jarang sekali kesenian Kraton Jogja dibawa ke luar lingkungan kraton.

BACA JUGA: Datangi SMAN 1 Wates soal Penyekapan Wali Murid, Ini yang Ditemukan ORI DIY

Hal itu membuat ia merasa aksesnya untuk mempelajari kebudayaan di Kraton Jogja sangat terbatas. Sehingga, begitu ada kesempatan untuk berlatih tari klasik di sanggar, dia pun tak menyia-nyiakannya.

Terapi Tari

Sejak awal berlatih tari di sanggar, Inggar menekuni tari klasik. Menurutnya, perbedaan tari klasik dengan kreasi itu yaitu tari klasik ada pakemnya.

Dia juga tertarik dengan tarian klasik karena mengandung nilai-nilai tersendiri yang berbeda dengan tari kreasi. "Sering ada yang bilang kalau menari itu kayak ibadah, harus konsentrasi," kata dia.

Saat mengajar, dia juga berupaya menyampaikan itu kepada anak didiknya. Namun, dia memahami jika proses berlatih tari klasik itu monoton.

Setiap satu semester, mereka hanya mempelajari satu tarian dan fokus di situ sampai lancar. Maka tak heran jika beberapa anak didiknya merasa bosan karena yang dipelajari hanya itu-itu saja.

"Tempo tari klasik itu memang pelan banget. Wajar sih ada titik murid itu bosan. Tetapi kalau tekadnya kuat, biasanya dia akan bertahan," kata Inggar.

Untuk menambah wawasannya soal tari, Inggar bahkan pernah mengambil studi diploma tari di ISI Jogja pada 2020 lalu.

Hal itu ia lakukan karena merasa bisa belajar lebih luas tentang bidang seni tari. "Kalau di sanggar itu kan belajarnya terbatas, kalau di institusi ilmunya bisa lebih banyak yang kita dapat, seperti koreografi tari, wiraga-wirama-wirasa, dan teori-teori lain. Saya itu memang seneng belajar," ujarnya.

Bahkan, beberapa waktu terakhir dia terlibat pementasan jatilan dengan Paguyuban Jathilan Kudho Praneso. Dia mengaku masih pemula di dunia kesenian kerakyatan ini sehingga masih banyak belajar.

Inggar berpose bersama kuda kepangnya./Instagram inggarbw

Di sela-sela kesibukannya menari dan mengajar, Inggar bahkan sempat mengambil studi pascasarjana di Magister Manajemen Rumah Sakit di salah satu universitas.

Dia berharap bisa terus menimba ilmu di kedokteran di samping menggeluti dunia berkesenian.

Inggar juga berkeinginan mempelajari keterkaitan dunia kedokteran dengan seni tari. Sebab, ia pernah menemukan jurnal yang membahas mengenai dance therapy.

"Saya tertarik dengan dance therapy, pernah baca jurnalnya. Jadi saya meyakini bahwa ada keterkaitan dunia medis dengan seni tari, karena bisa buat relaksasi dan healing," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Menteri Imigrasi & Pemasyarakatan Sebut Rehabilitasi Narkoba untuk Kurangi Kelebihan Kapasitas Lapas

News
| Rabu, 30 Oktober 2024, 07:37 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Makanan Ramah Vegan

Wisata
| Minggu, 27 Oktober 2024, 08:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement